Minggu, 19 April 2015

PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA



1.  Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena ha-hal sebagai berikut :
  1. Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
  2. Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
  3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
  4. Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Bedasarkan hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik penerapan hukum diperlukan penafsiran.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal,  misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b.  Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No. 144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c.  Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1)      Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2)      Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
  1. Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische interpretatie), penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
Contoh lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347 KUHP, yang artinya kandungan (vucht) atau yang janin dari perut ibu bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin yang hidup, bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian ? karena jika melihat pasal 347 itu dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang kejahatan terhadap Nyawa (secaa sistematis), dimana pasal 347 itu adalah bagian dari Bab IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX adalah nyawa. Artinya, janin tadi haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak bernyawa atau telah mati. Janin yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang sebagai satu kehidupan yang bediri sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan ibu yang mengandungnya.
  1. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
  2. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
  3. Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya  tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
Walaupun banyak kalangan ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan dengan asas legalitas  namun dalam praktek hukum terjadi juga analogi misalnya (Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921) yang menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP.
  1. Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
  2. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus dipilih ?
Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.

sejarah hukum pidana indonesia

Sejarah Hukum Pidana Indonesia
De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940
Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
  • Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
  • Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Isi peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
  • Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich (e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.
  • Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
  • Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
  • Pasal VI :
(1)        Nama undang-undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch-Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.
(2)        Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
  • Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
  • Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
  • Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia.
Pada akhirnya ditetapkan bahwa undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada hari yang akan diteapkan oleh presiden.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.

Kamis, 16 April 2015

إِنْ شَاءَ اللَّهُ


Beberapa hari yang lalu secara tak sengaja saya menemukan sebuah percakapan menarik dari akun Twitter salah seorang tokoh di negeri ini. Percakapan itu lumayan panjang ternyata, mengenai cara penulisan yang benar untuk kata إِنْ شَاءَ اللَّهُ .
Bermula dari pic seorang Syaikh dalam bahasa Inggris yang menyatakan bahwa penulisan yang benar adalah "In Shaa Allah", bukan "Insya Allah atau "Insha Allah" karena "Insha Allah" berarti "Create Allah".
APAKAH ITU BENAR?
Untuk menjawabnya mari baca penjelasan berikut:
Beliau merujuk kepada penulisan dalam bahasa Arab إِنْ شَاءَ اللَّهُ yang WAJIB ditulis terpisah antara huruf nun & syin-nya.
Arti harfiahnya sebagai berikut:
إِنْ (in/jika)
شَاءَ (syaa-a/menghendaki)
الله (Allahu/Allah)
Jika Allah menghendaki.
Sedangkan kata إِنْشَاء (dengan nun & syin menyambung) berarti "membuat".
Lalu apakah yang menulis dengan "Insha Allah" atau "Insya Allah" lantas berdosa? Saya yakini tidak karena ia sama sekali TIDAK BERNIAT mengatakan "create Allah". Penulisan tersebut juga sudah sangat umum dalam masyarakat kita & tidak ada seorangpun yang memahami maknanya sebagai "create Allah" kan? ;)
Satu hal yang sangat perlu kita perhatikan di sini: Bahasa pengantar Syaikh tersebut adalah bahasa Inggris. Ini terkait dengan transliterasi bahasa Arab ke bahasa-bahasa lain yang memiliki beberapa perbedaan. Dua huruf "sh" dalam literasi bahasa Indonesia digunakan untuk huruf shad (ص), bukan syin (ش). Sementara dalam transliterasi Arab-Inggris berlaku, huruf "sh" adalah untuk huruf syin (ش), sedangkan huruf shad (ص) menggunakan "s" dengan titik di bawahnya.
KESIMPULAN
Jadi kesimpulannya:
1. Pic/info yang beredar tersebut adalah benar, dan merupakan ijtihad Syekh tersebut yang patut kita hargai.
2. Penulisan "insyaAllah" dalam literasi selain Arab sah-sah saja ditulis dalam beberapa susunan, selama penulisan tersebut sudah umum & sang penulis meniatkan makna "Jika Allah menghendaki", bukan makna lain :).
3. WAJIB memisahkan huruf nun & syin jika dituliskan dalam huruf Arab: إِنْ شَاءَ اللَّهُ 
4. Hal-hal semacam ini sebaiknya tidak perlu dijadikan perdebatan apalagi permusuhan. Mengutip perkataan seorang ulama: Jauhi perdebatan yang tidak menghasilkan amal nyata.
Jadi daripada sia-sia, sangat baik jika kita menjadikan kata إِنْ شَاءَ اللَّهُ sebagai bentuk tawakkal kita terhadap apa yang sudah kita rencanakan (Al-Kahfi: 23-24). Bukan sebagai perdebatan, apalagi sebagai bentuk "ingkar janji" terselubung. Na'udzubillah :)
Lagi pula, ini perihal mengenai bahasa, bukan keyakinan. 'Toh' Islam adalah agama yang mudah, tidak mempersulit kan? :D

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. Al-Baqarah: 185)

Sekian. Semoga bermanfaat.

Rabu, 15 April 2015

10 cara meningkatkan kecerdasan emosional

10 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anda, Psikologi Zone – Semua orang selalu berbicara tentang Emotional Intelligence (EI), dalam bahasa Indonesia biasa disebut intelegensi emosional atau kecerdasan emosional, tapi apa sebenarnya itu? Salah satu aspek penting dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami, mengendalikan dan mengevaluasi emosi – dalam diri sendiri dan orang lain – dan menggunakannya sebagai informasi yang tepat.
Sebagai contoh, kecerdasan emosional dalam diri sendiri dapat membantu Anda mengatur dan mengelola emosi Anda, sementara mengakui emosi orang lain dapat menciptakan empati dan keberhasilan dalam hubungan Anda, baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional.
Pada tahun 1990, psikolog Yale John D. Mayer dan Peter Salovey memunculkan istilah kecerdasan emosional, yang beberapa peneliti mengklaim bahwa ini adalah karakteristik bawaan, sementara yang lain menunjukkan bahwa Anda dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
Mungkin tidak semua dari anda memiliki psikoterapis untuk meningkatkan kecerdasan emosional anda, namun kini Anda bisa menjadi terapis sendiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Semua itu dimulai dengan belajar bagaimana untuk mendengarkan perasaan-perasaan Anda. Meskipun tidak mudah, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi Anda sendiri, namun ini adalah langkah pertama dan paling penting.
Norman Rosenthal, MD, seorang psychiatrist dan peneliti seasonal affective disorder menjelaskan dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, dikutip dari psychology today (5/1/12), berikut adalah 10 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional Anda:
  1. Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
  2. Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum sampai puncak.
  3. Lihat bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
  4. Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
  5. Dengarkan tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapatkan kekuatan nalar.
  6. Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
  7. Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
  8. Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran dengan perasaan Anda.
  9. Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam per minggu.
  10. Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.

Kamis, 09 April 2015

lingkup hukum tata negara

HUKUM TATA NEGARA

A. Lingkup Hukum Tata Negara

Dalam kepustakaan Hukum Belanda, perkataan Staatsrecht (Hukum Tata Negara) mempunyai dua arti;
1) Staatsrechtswetenschap (Ilmu Hukum Tata Negara)
2) Positief staatsrecht (Hukum Tata Negara Positif)

Tata Negara Umum atau Pengantar Hukum Tata Negara membahas teori-teori ketatanegaraan secara umum sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya membahas konstitusi yang berlaku di Indonesia saja.
Hukum Tertulis yang merupakan Sumber dari Hukum Tata Negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.

Prof. Mr. WG. Vegting dalam bukunya “het Algemeen Nederland Administratiefrecht I, 1954”, Staats-en administratiefrecht hebben een gemeenschappelijk gebeid van te bestuderen regelen, die achter bij de ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”. (Hukum Tata Negara dan Hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang sama, tetapi cara pendekatan yang digunakan berbeda antara bidang pelajaran yang satu dan pendekatan penggunaan pelajaran lainnya). Pendapat ini menggunakan perbedaan “perkataan” bahwa hukum tata negara bertujuan mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat perlengkapan negara, sedangkan hukum administrasi negera bertujuan mengetahui tentang cara tingkah-laku negara dan alat-alat perlengkapan negara. Obyek hukum tata negara itu mengenai masalah fundamental organisasi negara, sedangkan hukum administrasi negara obyeknya mengenai pelaksanaan teknik dalam mengelola negara.

Dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia sebagai organisasi negara sejak 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam sejarahnya mengalami masa penggantian sebagai akibat dari rongrongan bekas penjajah Belanda yang ingin mencoba untuk menguasai kembali.

1. Sejarah singkat pembentukan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tanggal 29 April 1945 pemerintah jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) ang diketuai oleh Dr. Radjiman Widyadiningrat dengan tugas menentukan dasar-dasar filsafat dalam pembentukan pedoman bernegara.
Dalam sidang-sidangnya melaksanakan tugas itu menghasilkan:
1. Dasar falsafah Pancasila sebagai pedoman utama dalam bernegara (1 Juni 1945)
2. Pembentukan Undang-Undang Dasar (14 Juli 1945)
3. Rancangan Unsang-Undang Dasar.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan Kemerdekaan dibubarkan dan diganti, Dokuritsu Zyunbi linkai (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia) terdiri dari 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Wakil ketua Drs. Moh. Hatta, sehari setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus panitia tersebut ditambah menjadi 27 orang menetapkan:
1.Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2.Undang-Undang Dasar 1945.

2. Masa Republik Indonesia Serikat 1950
Pada tanggal 1 Januari 1950 negara Republik Indonesia Serikat menyelenggarakan organisasi negaranya berdasarkan Undang-Undangnya yang lazim disebut Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( Konstitusi RIS). Secara sistematik Konstitusi itu terdiri dari:
1.Mukaddimah Isi pasal sebanyak 197 Lampiran. Alat-alat perlengkapan negara RIS yang berkedudukan di Jakarta sebagai Ibukota, terdiri dari: Presiden Sebagai kepala negara, Presiden dipilih oleh wakil-wakil pemegang kuasa dari pemerintah daerah-daerah bagian. Syarat-syarat untuk, menjadi Presiden, ialah: Telah berusia 30 tahun Dilarang bagi orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Untuk pertama kali Presiden Republik Indonesia Serikat dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1949, yaitu Ir. Soekarno yang menagkat sumpahnya tanggal 17 Desember 1949.

2.Menteri-Menteri
Republik Indonesia menganut sistem kabinet yang bertanggung jawab (Government Cabinet), yaitu bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Tugasnya bersama-sama Presiden ,alaksanakan terselenggaranya pemerintah RIS. Dalam memperhatikan masalah untuk kepentingan umum sebagai kepentingan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Sidang Dewan Menteri.
1.Senat
Senat adalah perwakilan daerah-daerah bagian. Perwakilan ini diberikan kepada setiap daerah bagian dari dua orang anggota dan bentuk suara satu. Syarat-syarat untuk menjadi anggota senat sama dengan syarat untuk menjadi Presiden. Senat bersama-sama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, berwenang:
1)Mengubah Konstitusi,
2)Menetapkan Undang-undang Federal baik untuk satu atau dua maupun semua daerah bagian,
3)Menetapkan Undang-Undang Federal tentang Anggaran Belanja Negara.
4)Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah perwakilan seluruh rakyat anggotanya terdiri dari 150 orang dengan pembagian 50 anggota dari negara bagian Republik Indonesia dan 100 anggota dari negara-negara bagian lainnya dengan tidak mengecualikan keanggotaan dari warga negara dolongan Cina, Eropa, dan Arab.
5)Mahkamah Agung
Kedudukannya sebagai lembaga yudikatif yang berdiri sendiri tanpa campur tangan alat-alat perlengkapan negara lainnya kecuali ditentukan dalam undang-undang, masa jabatan keanggotaannya terbatas (dapat pensiun), dapat diberhentikan oleh Presiden atas perintahnya sendiri.
6)Konstituante
Konstituante sebagai lembaga yang bertugas khusus membuat Undang-Undang Dasat saat itu sangat siperlukan, karena Undang-Undang Dasar sebagai pedoman negara republik Indonesia masih bersifat sementara dan perlu yang bersifat tetap.
Indonesia Sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik, Kepala negaranya adalah Presiden. Dan sebagai negara hukum, kedaulatannya adalah ditangan rakyat yang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.

2.Sumber Hukum Tata Negara
Sumber Hukum Tata Negara mencakup Hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal.
Sumber Hukum materiil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Sumber hukum dalam arti meteril ini diantaranya:
1) Dasar dan pandangan hidup bernegara
2) Kekuatan0kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara.

Sumber Hukum dalam arti Formal:
1)Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
2)Hukum Adat ketatanegaraan
3)Hukum kebiasaan ketatanegaraan, atau konvensi ketatanegaraan
4)Yurisprudensi ketatanegaraan
5)Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
6)Doktrin ketatanegaraan

3.Asas-asas Hukum Tata Negara.

1)Asas Pancasila
Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum meteriil. Dalam penjelasan UUD 1945, dapat diketahui bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD negara Republik Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila.

2)Asas Negara Hukum

Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung “rechsstaat”.
Ciri-ciri dari rechtsstaat ialah:
1.Adanya Undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Ciri-ciri diatas menunjukan ide sentral dari rechtsstaat ialah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.
Menurut A.V. Dicey mengetengahkan dalam tiga arti dari the rule of law sebagai berikut:
1)Supermasi Absolut atau predominasi dari regular Law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan menindak kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2)Persamaan dihadapan hukum atau pendudukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara.
3)Konstitusi adalah hasil dari ordinary law of the land, hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

3. Asas Keadulatan Rakyat dan Demokrasi.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sisitem hukum continental yang disebut civil Law, sedangkan konsep rule of law pada system hukum yang disebut common law. Karakteristik common law adalah judicial. Sedangkan civil law adalah administratif.

Adapun ciri-ciri rechtstaat :
1.Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan-ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan Negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat

Ide sentral rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.

A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut :
a. supermasi absolute atau pedominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

b. Persamaan dihadapan hukum atau penundukkan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bhwa tidak ada orang yang berada diatas hukum tidak ada peradilan administrasi Negara.

c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupak konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dant ditegaskan oleh peradilan.
Dalam paham Negara hukum yang demikian, harusnya dibuat jaminan bahwa hukum tiu sendiri di bangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip demokrasi yang diatur dalam undang-undang dasar.

4. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (demokratische rechtsstaat). Kalangan berpandangan bahwa Undang-undang 1945 adalah cita kenegaraan kekeluargaan, oleh Soepomo disebut Integralistik. Sebagian yang lain juga berpendapat bahwa dalam UUD 1945 adalah Demokrasi karena adanya jaminan HAM didalam UUD 1945. Meskipun banyak yang mengusulkan agar permasalahan HAM dimuat dalam UUD, Soekarno dan Soepomo berkeras untuk konsisten dengan sistematika pemikiran integralistik yang menolak-nolak HAM. Perbedaan pandangan mengenai HAM tersebut, terutama seperti yang terlihat dalam perdebatan antara Hatta-Yamin di satu pihak dengan Soekarno-Soepomo di pihak yang lain, pada pokoknya mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai konsep Negara kekeluargaan. Bab XA dengan judul Hak Asasi Manusia yang terdiri dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J.
HAM yang termasuk dalam UUD 1945 dapat dibagi kedalam beberapa Aspek, yaiutu :
1. HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2. HAM berkaitan dengan keluarga
3. HAM berkaitan dengan pekerjaan
4. HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan menyakini kepercayaan
5. HAM berkaitan dengan kebebasan bersikap, berpendapat, dan kepercayaan
6. HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7. HAM eberkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat.
8. HAM berkaitan dengan kesejahteraan Sosial
9. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10. HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.

Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke UUD 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang dianggap semakin penting sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat Negara hukum.

5. Asas Negara Kesatuan.
Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametric dari Negara federal. Formulasi Negara kesatuan dedeklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri Negara dengan mengeklaim seluruh wilayahnya sebagai dari satu Negara.

6. Asas Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances

Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar :
Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin sentral dan menentukan. Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebigh liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada public betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan Negara. Keempat, pada tataran lebih tinggi Negara kesadaran untuk memperkuat proses check and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang-yakin “asas kekeluargaan didalam penyelenggaran Negara. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagai elite berpengaruh dan public politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstirusi RI.

sekilas tentang pengantar ilmu hukum

PENGANTAR ILMU HUKUM

Arti dari ilmu hukum :
Menurut Satdjipto Raharjo, ilmu yang mencakup dan membicarakan segala hal tanh berhubungan dengan hukum untuk memperoleh pengetahuan tentang segala hal dan seluk beluk mengenai hukum.

A. Obyek Ilmu Hukum:
Segala hal yang berkaitan dengan hukum, dimulai teks otoritatif bermuatan aturan-aturan hukum yang terdiri atas produk Perundang-undangan, putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis, karya Ilmuan hukum yang berwibawa dalam bidangnya (doktrin), dan berlakunya hukum dimasyarakat sampai pengaruh-pengaruh lain dalam ilmu hukum.

B. Pembidangan Ilmu Hukum.
1. Tertulis dan tidak tertulis
2. Hukum Privat dan Hukum Publik
3. Hukum Nasional dan Internasional
4. Hukum Materiil dan Hukum Formil

C. Unsur-unsur Hukum
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggar peraturan tersebut bersifat tegas

Ciri-ciri dari Hukum tersebut ialah
a. Adanya perintah dan/atau larangan,
b. Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.

D. Sifat-sifat dari Hukum
Hukum mempunyai sifat mengatur memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam mkasyarakat serta memberi sanksi yang tegas bagi yang tidak mau mentaatinya.

E. Tujuan Hukum
Tujuan hukum untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan keinsyafan dari tiap-tiap anggota masyarakat tersebut. Dengan demikian hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

F. Ilmu Hukum sebagai Ilmu Kaedah Hukum

1.Tata Tertib Masyarakat
Agar suatu masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman tentram dan damai maka diperlukannya suatu tata. Tata itu berwujud aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Tata itu lazim disebut KAEDAH (berasal dari bahasa Arab) atau Norma (berasal dari bahasa Latin). Norma-norma itu mempunyai dua macam isinya berwujud:
a. Perintah,
b. Larangan,

Guna Norma ialah untuk memberi petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari.

2. Kaedah Dalam Kenyataan
Manusia bersifat Individualistis, artinya akan mementingkan dirinya sendiri dan timbulah pertikaian, jika kaedah kehidupan terus menerus demikian maka tidak dapatlah dikatakan bahwa ada penghidupan yang tertatur dalam masyarakat itu.

Dalam kehidupan ada 4 macam norma:
1. Norma Agama
2. Norma Kesusilaan
3. Norma Kesopanan
4. Norma hukum

1. Norma Agama
peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari tuhan. Contoh : “Hormatilah orang tuamu, agar supaya engkau selamat”

2. Norma Kesusilaan
Peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia (insan-kamil).
Contohnya : Hendaklah engkau jujur, hendaklah engkau berbuat baik terhadap sesama manusia.

3. Norma Kesopanan
Peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia. Contohnya : orang yang muda, harus menghormati orang yang lebih tua.

4. Norma Hukum
Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara.

Subyek Hukum itu terdiri dari :
1) Manusia (natuurlijke persoon)
2) Badan Hukum (rechtspersoon)

Manusia baik warganegara ataupun orang asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannya adalah subyek hukum. Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.
Badan Hukum, sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, misalnya : dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.
Bedanya dengan manusia ialah, bahwa Badan Hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan, tak dapat dihukum penjara (kecuali hukumam denda).

Macam-macam Badan Hukum Yakni:
1. Badan Hukum Publik, yaitu negara, Daerah Swatantra tingkat I dan II, Kotamadya,
Kotapraja, Desa.
2. Badan Hukum Perdata, yaitu yang dibagi lagi dalam Badan Hukum (perdata) Eropa,

Badan Hukum Indonesia.
Obyek Hukum (benda) ialah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi obyek sesuatu perhubungan hukum. Biasanya obyek hukum itu disebut BENDA. Menurut Hukum Perdata Benda ialah segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang (vide pasal 499 Kitab Undang-undang Hukum Sipil = KUHS).
Perbuatan Hukum, ialah segala perbuatan manusia yang disenganja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban misalnya: membuat Surat Wasiat, Membuat Persetujuan-persetujuan.

Perbuatan Hukum terdiri dari :
1. Perbuatan Hukum Sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak, misalnya: Pembuatan Wasiat,

Pemberian Hadiah sesuatu benda.
2. Perbuatan Hukum dua Pihak, perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan
menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak.

Pengantar Hukum Indonesia dan ruang lingkup

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Pengertian Tata Hukum, yaitu menyusun dengan baik dan Tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.

Sistem Hukum
Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lain, tersusun dengan suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan.
Hukum Sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.

A. RUANG LINGKUP PHI (Tata Hukum Indonesia)
Tata Hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat Hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Lahirnya Tata Hukum di Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dibentuklah tata hukumnya itu dinyatakan dalam :
1.Proklamasi Kemerdekaan : “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”,
2.Pembukaan UUD-1945: “ Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Undang-undang dasar Negara Indonesia…”

Pernyataan itu mengandung arti :
1.Menjadikan Indonesia sauatu Negara yang merdeka dan berdaulat
2.Pada saat itu menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian tertulis. D

Didalam Undang-undang dasar Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis). Undang-undang hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar merupakan rangka dari tata hukum Indonesia

Tata Hukum di Indonesia meliputi :

1. Sistem Hukum
Macam-macam Sistem Hukum
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental.
b. Sistem Hukum Anglo Saxon
c. Sistem Hukum Adat

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum Tata Negara di Indonesia :
1.Hukum perdata Indonesia
2.Hukum Pidana Indonesia
3.Hukum Tata Negara Indonesia
4.Hukum Dagang
5.Hukum Agraria
6.Hukum Pajak
7.Hukum Acara Pengadilan
8.Hukum Administrasi Negara
9.Hukum Adat
10.Hukum Islam.

Klasifikasi hukum
1.Berdasarkan sifatnya
Drs E. Utrecht, SH. Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Indonesia” (1953) telah membuat suatu batasan, Utrecht memberikan batasan Hukum sebagai Berikut: “Hukum itu adalah himpunan peratura-peraturan (perintah-Perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena harus ditaati oleh masyarakat. Itu. Akan tetapi tidaklah semua orang mau mentaati kaedah-kaedah hukum itu, maka peraturan kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.

2.Berdasarkan fungsinya.
Fungsi Hukum ialah untuk mengatur, sebagai petugas, serta sebagai sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban. Yang akan diatur oleh Hukum ialah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat, adanya sanksi terhadap pelanggaran tersebut adalah tegas, bersifat memaksa, dan peraturan hukum diadakan oleh badan-badan resmi. Hukum yang diciptakan penguasa memiliki tiga tujuan yang hendak dicapai. Untuk menjelaskan tujuan ini ada 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang tujuan hukum, Teori Etis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, Teori Utilitas tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan manusia Teori campuran, tujuan hukum untuk mencapai ketertiban (yang utama) dan keadilan yang berbeda-beda isinya dan ukurannya menurut masyarakat dan zaman. Sedangkan tujuan Hukum Negara Republik Indonesia Menurut Hukum Positif tertuang dalam alinea keempat UUD Negara RI 1945 “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” tujuan Hukum sebagaimana disebutkan diatas intinya adalah menghendaki adanya keseimbangan, kepentingan, keadilan,ketertiban,ketentraman dan kebahagiaan setiap insan manusia, maka dari situ dapat diketahui apa sebenarnya fungsi dari hukum itu sendiri.
Secara umum fungsi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yaitu :
1.Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2.Sarana mewujudkan keadilan sosial.
3.Alat penggerak pembangunan nasional.
4.Alat kritik.
5.Sarana penyelesaian sengketa atau perselisihan.

3.Berdasarkan isinya.
Hukum berdasarkan isinya adanya hukum Privat dan hukum publik. Pengertian dari masing-masing tersebut ialah, Hukum Privat, ialah Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil. Hukum privat ialah termasuk Hukum Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Kekayaan dan Hukum Waris, Contohnya seperti seseorng melakukan Perjanjian jual beli. Sedangkan Hukum Publik ialah bidang hukum dimana subyek hukum bersangkutan dengan subyek hukum lainnya, yang dimaksud ialah jika seseorang melanggar atau melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam denga hukuman. Hukum publik ialah termasuk Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana.

4.Berdasarkan Waktu Berlakunya.
Hukum berdasarkan Waktu Berlakunya berdasarkan Hukum Positif atau Tata-Hukum dengan nama asing disebut ius constitutum sebagai lawan kata dari pada ius constituendu. Yakni perbuatan hukum yang berdampak positif bagi masyarakat, seperti seseorang memliki keinginan untuk mencuri atau merampok, tetapi seseorang tersebut tidak jadi mencuri atau merampok karena mengetahui adanya hukuman atau sanksi bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Berikut sebaliknya ius constituendum yakni Hukum Negatif ialah seseorang tersebut telah mengerti adanya hukuman atau sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan tersebut tetapi seseorang tersebut seakan tak mempedulikan hal tersebut, seperti Korupsi. Serta Hukum Antar Waktu yakni Hukum Yang mengatur suatu peristiwa yang menyangkut hkm yang berlaku pada masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang.

5.Berdasarkan Wujudnya/Bentuknya.
Menurut bentuknya, Hukum itu dapat dibedakan antara:
1.Hukum Tertulis (Statute Law = Written Law), Yakni Hukum yang dicantumkan dalam
berbagai peraturan-perundangan satu negara, Contohnya:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Peraturan Pemerintah.
3. Peraturan Presiden.
4. Peraturan Daerah.

Mengenai Hukum tertulis, ada yang telah dikondifikasikan, dan yang belum
dikondifilasikan . KONDIFIKASI ialah pembukaan jenis-jenis hukum tertentu dalam
kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsur Kondifikasi ialah, Jenis Hukum tertentu (misalnya hukum perdata), sistematis, lengkap. Tujuan Kondifikasi dari hukum tertulis ialah untuk memperoleh Kepastian hukum, penyederhanaan hukum, kesatuan hukum. Berikut ialah contoh hukum yang sudah dikondifikasikan:
1)Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848).
2)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848).
3)Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).

1.Hukum Tak Tertulis (unstatutery Law = unwritten Law), Yakni Hukum yang
masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya
ditaati seperti suatu peraturan perundangan (disebut juga hukum kebiasaan),
disebut Hukum Adat (Adat Law).

Perhatian dari luar terhadap hukum adat, Bangsa indonesia tidak lepas dari kontak dengan bengsa-bangsa lain. Istilah “Hukum Adat” adalah terjemahan dari perkataan Belanda “adatrecht”, istilah “adatrecht” ini ialah untuk pertama kali dipakai jadi merupakaniptaan, Snouck Hurgronje. Kemudian dipakai oleh pengarang-pengarang lain-lain. Tetapi kesemuanya ini memakainya masih secara sambil lalu dan hanya untuk hukum Indonesia asli, terlepas dan akibat pengaruh-pengaruh dari luar, seperti pengaruh agama.

6.Berdasarkan waktu berlakunya.
1)Hukum Nasional, Yaitu Hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, misalnya Hukum Nasional Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menempatkan UUD 1945 sebagai hukum positif tertinggi.
2)Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum
yang terjadi dalam, pergaulan internasional.
3)Hukum Asing, yaitu hukum yang berlaku dinegara lain, misalnya bagi bangsa Indonesia adalah hukum yang berlaku di Malaysia, Amerika Serikat, Australia, dsb.
4)Hukum Gereja, adalah hukum yang ditetapkan oleh gereja dan diperlakukan terhadap para jamaahnya.

7.Berdasarkan Daya Kerjanya.
- Hukum yang bersifat mengatur atau fakultatif atau subsidiair atau perlengkapan dispositif, yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak.
- Hukum yang bersifat memaksa atau imperatif (dwingendrecht),yaitu hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat para pihak, yang berarti kaedah hukumnya bersifat mengikat dan memaksa, tidak memberi wewenang lain, selain apa yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Biasanya hukum yang mengatur kepentingan umum bersifat memaksa, sedangkan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau epentingan khusus bersifat mengatur. Persoalanya bagaimana caranya untuk mengetahui, apakah suatu peraturan hukum itu bersifat memaksa atau bersifat mengatur?
Dalam hal ini ada 3 (tiga) pedoman, yaitu:
-Berdasarkan Pasal 23 AB, yang menentukan bahwa suatu perbuatan atau perjanjian tidak dapat meniadakan kekuatan undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum kesusilaan itu bersifat memaksa.
-Dengan membaca darri bunyi peraturan hukum yang bersangkutan, dapat diketahui bahwa suatu peraturan hukum bersifat memaksa atau tidak. Contoh: Pasal 1447 KUH Perdata yang menentukan bahwa penyerahan harus dilakukan ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lai.
-Dengan jalan interprestasi dapat diketahui bahwa peraturan hukum tersebut bersifat memaksa atau tidak. Contoh: pasal 1368 KUH Perdata yang menentukan bahwa pemilik seekor binatang, atau siapa yang memakainya, adalah selama binatang itu dipakainya bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada dibawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.

2.Sejarah Hukum Indonesia.
Ada beberapa periode sejarahberkembangnya Hukum diindonesia, Yakni:
1.Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal

Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1.Periode VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

2.Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

3.Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; Unifikasi kejaksaan; Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; Pembentukan lembaga pendidikan hukum; Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

3.TERBENTUKNYA HUKUM

A) pandangan legisme ( akhir abad 19) :
- hukum terbentuk oleh perundang-undangan
- hakim secara mekanis merupakan terompet undang-undang
- kebiasaan berlaku bila ada pengaruh
- meinitik beratkan pada kepastian hukum

B) pandangan freirechtlehre ( -20) :
- hukum terbentuk oleh peradilan
- undang-undang dan kebiasaan hanya sarana pembantu hakim menemukan hukum pada kasus konkrit
- titik beratnya : social doelmatighe

Pandangan modern terbentuknya hukum :
1. hukum terbentuk dengan berbagai macam cara
2. hukum oleh pembentuk UU dan hakim menerapkan UU
3. penerapan UU tidak dapat mekanis tapi perlu penafsiran
4. UU tidak sempurna sehingga penafsiran dan kekosongan hukum adalah tugas hakim melalui peradilan
5. hukum terbentuk tidak hanya karena pembentukan UU dan peradilan tetapi pergaulan social juga dapat membentuk hokum
6. peradilan kasasi berfungsi untuk memelihara kesatuan hukum dan pembentukannya

7. Sumber Hukum dan Tertib Hukum.
1.Adapun yang dimaksud dengan Sumber Hukum ialah: Segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
2.Sumber Hukum itu dapat ditiinjau dari segi Material dan segi Formal:
3.Sumber-sumber Hukum dari segi material, dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
Contohnya:
1.Seorang ahli ekonomi akan mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.
2.Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

2.Sumber-Sumber Hukum Formalantara lain:
1.Undang-undang (statute).
2.Kebiasaan (costum).
3.Keputusan-keputusan Hakim (jurisprudensi).
4.Traktat (treaty).
5.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).

a.Undang-Undang.
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dipelihara oleh penguasa negara, undang-undang juga peraturan Hukum tertinggi dinegara.
Menurut Buys, undang-undang memiliki dua arti, yakni:
1. Undang-undang dalam arti formal: setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang kerena cara pembuatanya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan Parlemen).
2. Undang-undang dalam arti material: setiap keputusan Pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
1) Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang:
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris Negara (dahulu: Menteri Kehakiman). Tanggal berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itunmulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam L.N untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah lain-lainnya beru berlaku 100 hari setelah perundangan dalam L.N. setelah syarat tersebut dipenuhi, maka “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SESUATU UNDANG-UNGANG”. Hal ini berarti jika ada seseorang yang melanggar Undang-undang tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan apapun.
2)Berakhirnya Kekuatan berlaku undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika:
a)Jangka waktu berlaku yang telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau.
b)Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak lagi ada.
c)Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d)Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yand dulu berlaku.

Yang dimaksud dengan Lembaran Negara itu ialah suatu lembaran (sertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku. Misalnya:
1)L.N. tahun 1962 No. 1 (L.N. 1962/1).
2)L.N. tahun 1962 No. 2 (L.N. No. 2 tahun 1962).

Contoh:
1)L.N. 1950 No. 56 isinya: undang-undang dasar sementara (1950).
2)L.N. No. 37 isinya: Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1959 tentang peraturan ujian Universitas bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta.
3)L.N. 1961 No. 302 isinya: undang-undang No. 22 tahun 1961 tentang Peguruan Tinggi.
Sedangkan yang dimaksud dengan Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi Departemen Kehakiman (Sekertaris Negara) yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara dan pemerintah da memuat surat-surat yang dianggap perlu seperti: akta pendirian PT, Firma, Koperasi, dan lain-lain.

b.Kebiasaan (costum).
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran Hukum, maka demikian timbulah kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Contohnya: apabila seorang Komisioner sekali menerima 10% dari hasil atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan komisioner yang lainpun juga menerima upah yang sama yaitu 10% maka dari itu lambat laun kebiasaan (usance) berkembang menjadi Hukum Kebiasaan.

c.Pendapat Sarjana Hukum (doktrin).
Pendapat para Sarjana Hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh Hakim. Dalam Jurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa Sarjana Hukum yang terkenal dalam Ilmu Pengetahuan Hukum. Hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikan. Terutama dalam hubungan internasional pendapat-pendapat para Sarjana Hukum berpengaruh yang besar. Bagi Hukum Internasional pendapat para Sarjana Hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.Mahkamah Internasional dalamPiagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dapat dipergunakan beberapa pedoman yang antara lain:
a)Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions).
b)Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International Costums).
c)Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recorgnised by civilised nations).
d)Keputusan hakim, (Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.

C. Struktur peraturan perundangan.
Sebelum membahas tentang struktur peraturan perundangan, istilah peraturan Peundang-undangan (wettelijke regeling), dalam khazanah keperpustakaan hukum, khususnya Eropa Kontinental, peraturan perundang-undangan (wet in meteriele zin, gesetz in materiellen sinne), dijabarkan lagi kedalam tiga unsur utama, yakni meliputi:
(a)Norma Hukum (rechtsnormen).
(b)Berlaku ke luar (naar buitenwerken).
(c)Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin).

Dengan unsur demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti luas.
Dijelaskan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundag-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh leembaga pejabat negara yang mempunyai fungsi Legeslatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah:
1.Peraturan Perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis (geschreven, written law).
2.Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan Organ), yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku umum atau mengikat umum (algemeen).
3.Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan mengikat oleh semua orang,mengikat umum hanya menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan tidak berlaku pada peristiwa konkret atau individu tertentu. Lebih tepatnya disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat umum.

1)Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Berdasarkan atau sumber pada undang-undang dasar sementara 1950 dan konstitusi RIS-1949. Peraturan-peraturan di Indonesia terdiri dari:
1.Undang-undang Dasar (UUD).
2.Undang-undang (biasa) dan Undang-undang Darurat.
3.Peraturan Pemerintah tingkat Pusat.
4.Peraturan Pemerintah tingkat Daerah.

1)UUD ialah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan memuat garis-garis besar dan tujuan negara.
Suatu Uud mempunyai rangka seperti berikut:
1.Mukadimah atau Pembukaan atau Preamblue.
2.Bab-bab yang terbagi atas bagian-bagian.
3.Bagian terdiri atas pasa-pasal.
4.Pasal terdiri dari ayat-ayat.

Rangka Undang-Undang Dasar 1945:
(1) Pembukaan: 4 alinea.
(2) Isi UUD-1945:
a)16 Bab.
b)37 pasal.
c)4 pasal Aturan Peralihan.
d)2 ayat Aturan Tambahan.
(3) Penjelasan UUD-1945.
UUD biasanya juga disebut Konstitusi, akan tetapi sebenarnya Konstitusi tak sama dengan UUD. UUD itu merupakan Hukum Negara yang tertulis sedangkan Konstitusi tidak saja meliputi peraturan tertulis, tetapi juga mencakup peraturan hukum yang tidak tertulis (Conventions). Jadi makna Konstitusi lebih luas dari pada UUD.

2)Undang-Undang (biasa) ialah peraturan negara yang diadakan untuk menyelenggarakan pemerintahan pada umumnya yang dibentuk berdasarkan dan untuk melaksanakan UUD. Menurut UUD pasal 89 UU dibentuk oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Suatu undang-undang terdiri atas:
a.Konsiderans : yakni alasan-alasam yang menyebabkan dibentuknya suatu undang-undang. Dinyatakan dengan kata-kata Menimbang; mengingat;
b.Diktum : keputusan yang diambil oleh pembuat UU, setelah disebutkan alasan pembentukannya. Diiktum dinyatakan dengan kata-kata: Memutuskan: Menetaplan
c.Isi : isi UU itu terdiri dari: Bab-bab, Bagian, Pasal, Ayat-ayat.
Undang-undang Darurat ialah UU yang dibuat oleh Pemerintah sendiri atas kekuasaan dan tanggungjawab Pemerintah yang karena KEADAAN YANG MENDESAK perlu diatur dengan segera.

UUD Darurat dikeluarkan dengan bentuk dan keterangan-keterangan seperti UU biasa dengan perbedaan:
(1) Dalam menimbang harus diterangkan bahwa karena keadaan yang mendesak peraturan ini perlu segera diadakan.
(2) Kalimat “dengan persetujuan DPR” dihilangkan. UUD Darurat dapat kemudian disahkan oleh presiden dengan persetujuan DPR menjadi UUD biasa. UUD Darurat juga memiliki derajat yang sama denga undang-undang biasa.
(3) Peraturan Pemerintah (pusat) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk melaksanakan suatu UU. Peraturan Pemerintah dibuat semata-mata oleh Pemerintah tanpa kerja sama dengan DPR. Peraturan Pemerintah dikeluarkan yang seperti UU Darurat dengan perbedaan menghilangkan kalimat “bahwa keadaan mendesak....” dihilangkan.
(4) Peraturan daerah ialah semua peraturan yang dibuat oleh Pemerintah setempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya. Berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1948 dikenal.
(a) Peraturan Propinsi.
(b) Peraturan Kotapraja.
(c) Peraturan Kabupaten.
(d) Peraturan Desa.

Sekarang ini berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1974 dikenal:
(1) Peraturan Daerah Tingkat I.
(2) Peraturan Daerah Tingkat II.

Masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (sekarang).
1) Bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan, Pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan yang disebut peraturan perundangan. Dengan demikian peraturan perundangan Republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Bentuk-bentuk dan Tata urutan peraturan perundangan menurut ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (kemudian dikuatkan oleh ketetapan MPR No. V/MPR/1973) ialah berikut:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-1945).
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ketetapan MPR).
c) Undang-Undang (UU) dan peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU).
d) Peraturan Pemerintah (PP).
e) Keputusan Presiden (KEPPRES).
f) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.

Tata urutan yang hierarki diatas tidak dapat diubah dan dipertukarkan tingkat kedudukannya, dari peraturan yang tertinggi dan rendahnya. Karena dalam penyusunan tersebut menunjukan tinggi rendahnya tingkat kedudukan peraturan negara tersebut.peraturan yang lebih rendah tingkat kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, misalkan: Undan-Undang tidak boleh bertentangan isinya dengan ketetapan MPR, peraturan Pemerintah dengan UU, dan sebagainya.

a) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada peraturan perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar tertulis, sedangkan disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yag tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum lain, misalnya kebiasaan-kebiasaan, traktat-traktat (perjanjian-perjanjian), dan sebagainya.

b) Ketetapan MPR.
Mengenai ketetapan MPR ada dua macam:

a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatip dilaksanakan dengan Undang-Undang.

b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

c) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (PERPU)
PERPU diatur dalam UUD-1945 pasal 22 sebagai berikut:
(a) Dalam hak-ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(b)Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan.
(c) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR; oleh karena itulah PERPU dalam pasal 22 UUD 1945 yang sama kekuatannya dengan Undang-Undang harus disahkan pula oleh DPR. Ketentuan UUD 1945 tersebut sebenarnya memberikan suatu kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, oleh karena itu PERPU yang ditetapkan sendiri oleh Presiden mempunyai derajat/kekuatan berlaku yang sama dengan suatu Undang-Undang.
Presiden dengan menjalankan mengeluarkan PERPU yang dibuat sendiri dapat merubah atau menarik kembali suatu Undang-Undang biasa yang ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR.
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
Pasal 5 ayat 2 UUD 1945, di samping kekuasaan membentuk PERPU, UUD 1945 memberikan lagi kekuasaan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Selain peraturan Pemerintah (pusat), dikenal pula Peraturan Pemerintah Daerah Seperti misalnya Peraturan-Peraturan Daerah Tingkat I, dan Daerah Tinggak II. Peraturan Pemerintah (pusat) memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-Undang, sedangkan Peraturan Pemerintah daerah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah isinya tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat, dan jika bertentangan maka peraturan Pemerintah yang bersangkutan dengan sendirinya Batal (tidak berlaku).

4. Asas-asas dalam peraturan perundangan.
Menurut Van der Vilies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (algemeen beginselen van behoorlijke regelgeving), dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni asas formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiele beginselen).
Asas formal meliputi,
1) Asas tujuan yang jelas.
2) Asas organ /lembaga yang tepat.
3) Asas perlunya pengaturan.
4) Asas dapat dilaksanakan.
5) Asas Konsensus.
Asas Materil meliputi,
1) Asas Terminologi dan sistematika yang jelas.
2) Asas dapat dikenali.
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum.
4) Asas kepastian hukum.
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mencoba memperkenalkan beberapa asas-asas dalam perundang-undangan, yakni:
1) Undang-undang tidak boleh berlaku surut.
2) Undang-Undang yang dimuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum ( lex spesialis derogat lex generali).
4) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori).
5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
6) Undang-undang sebagai sarana unuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).

Untuk pemahaman yang lebih baik, harus diperhatikan, bahwa dalam asas ini sebagaian besar diarahkan pada kecenderungan masyarakatnya, situasi politik, dan pemerintahan yang ada.
Asas-asas tujuan yang jelas darus memuat tujuan umum daran kerangka aturan yang terlihat jelas. Disamping itu juga harus ada yang bersifat khusus. Hal itu berkaitan dengan bantuan khusus dari peraturan untuk mencapai tujuan umum.
Montesquie dalam bukunya L’ Esprit des lois menjelaskan bahwa, dalam pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, antara lain:
1) Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple) kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorika hanya tambahan yang membingungkan.
2) Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan relatif, dengan maksud meminimalisasi kesepakatan untuk perbedaan pendapat dari individu.
3) Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang rill dan aktual, menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik.
4) Hukum hendaknya, tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang, bahkan hukum bukan latihan logoka, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata.
5) Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan.
6) Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/dapat diperdebatkan; adalah bahaya merinci alasan-alasan hukum karena hal itu akan lebih menumbuhkan pertentangan-pertentangan.
7) Lebih daripada semua tiu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak mengoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan,dan hakekat permasalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewajiban negara.

5. Sistem Hukum Indonesia.
a. Pengertian sistem Hukum.
Berbicara mengenai Sistem Hukum, dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu, yakni terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. Dan kaitannya dengan hukum, maka Prof. Subekti,S.H. berpendapat bahwa: “sistem hukum adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.
Setiap sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya dan dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya dengan demikian sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan fungsional. Kalau dikatakan bahwa hukum itu sebagai suatu sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dati aturan-aturan hidup. Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum Positif.
b. Ciri-ciri sistem Hukum Indonesia.
Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam Suherman, 2004: 21)
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
c. Unsur-unsur dalam Sistem Hukum Indonesia.
1) Sistem Hukum Islam.
Sistem hukum ini mula-mula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebrangan agama Islam. Kemudian berkembang kenegara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara Individual atau kelompok.
Sistem Hukum Islam bersumber Hukum kepada:
1) Al-Quran, yaitu Kitab suci kaum muslim yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
2) Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai Nabi Muhammad.
3) Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi).
4) Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode Ilmu Hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari segi hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada didalamnya.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban serta keselamatan umat manusia.
Berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem hukum islam dalam “Hukuum Fikih” terdiri dari dua hukum pokok, yakni:
1) Hukum Rohaniah, lazim disebut “Ibadat”, yaitu cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian kepada Allah, seperti Shalat, Puasa, Zakat, Dan menjalankan Haji.
2) Hukum Duniawi, terdiri dari:
a) Muamalat, yakni tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang jual beli, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, hukum perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b) Nikah, yakni perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan Monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c) Jinayat, yakni hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Sistem Hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Agama Islam dengan keimanan lahir secara individual.

2). Sistem Hukum Adat.
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “adatrecht” yang untuk pertama kali oleh Snouck Hurgronje, Pengertian Hukum Adat yang digunakan oleh Mr. C. Van Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum Adat dan Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat Hukumnya. Kata “Hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhanya oleh berbagai golongan tertentu dalam ilmu lingkungan kehidupan sosialnya.

Sistem Hukum Adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan Hukum Adat itu mempunyai tipe yang bersifat Tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenekk moyang.utuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang.
Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu, maka Hukum Adat dapat memperlihatkan kesanggupanya untuk menyesuaikan diri dan elastik. Misalnya, kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia menyesuaikan dengan daerah tradisi yang didatangi. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang peraturan-peraturanya ditulis dan dikondifikasikan dalam sebuah kitab Undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang sulit dapat diubah secara cepat untuk penyesuaian dalam situasi sosial tertentu.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe Hukum Adat itu, maka dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia.

Sistem Hukum Adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Hukum Adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat), mengatur tentang susunan dari ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeneschappen) serta dalam susunan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.

2) Hukum Adat mengenai Warga (hukum warga) terdiri dari:
a) Hukum Pertalian Sanak (perkawinan, waris).
b) Hukum Tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah).
c) Hukum Perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang
benda selain tanah dan jasa).

3) Hukum Adat mengenai detik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
Hukum Adat yang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat indonesia, sedangkan masyarakat itu sendiri selalu berkembang, dengan tipeyang mudah berubah dan elastik, maka sejak penjajahan Belanda banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari polotik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah penjajah itu.

3). Sistem Hukum Barat.
Hukum Barat mengacu pada tradisi hukum dari budaya Barat . Western culture has an idea of the importance of law which has its roots in both Roman law and the Bible . Budaya Barat memiliki gagasan tentang pentingnya hukum yang berakar baik dalam hukum Romawi dan Alkitab . As Western culture has a Graeco-Roman Classical and Renaissance cultural influence, so does its legal systems. Sebagai budaya Barat memiliki Graeco-Romawi Klasik dan Renaissance pengaruh budaya, begitu pula sistem hukum.
Barat budaya hukum adalah bersatu dalam ketergantungan sistematis konstruksi hukum. Such constructs include corporations , contracts , estates , rights and powers to name a few. Konstruksi tersebut termasuk perusahaan , kontrak , perkebunan , hak dan kekuasaan untuk beberapa nama. These concepts are not only nonexistent in primitive or traditional legal systems but they can also be predominately incapable of expression in those language systems which form the basis of such legal cultures. Konsep-konsep ini tidak hanya tidak ada dalam sistem hukum primitif atau tradisional tetapi mereka juga dapat didominasi mampu berekspresi di sistem-sistem bahasa yang membentuk dasar dari budaya hukum tersebut.
As a general proposition, the concept of legal culture depends on language and symbols and any attempt to analyse non western legal systems in terms of categories of modern western law can result in distortion attributable to differences in language. So while legal constructs are unique to classical Roman, modern civil and common law cultures, legal concepts or primitive and archaic law get their meaning from sensed experience based on facts as opposed to theory or abstract. Sebagai proposisi umum, konsep budaya hukum tergantung pada bahasa dan simbol-simbol dan setiap usaha untuk menganalisis sistem non-hukum Barat dalam hal kategori hukum Barat modern dapat mengakibatkan distorsi disebabkan perbedaan bahasa. Jadi, sementara konstruksi hukum unik untuk klasik Romawi, modern, budaya hukum sipil dan umum, konsep hukum atau hukum primitif dan kuno mereka mendapatkan arti dari pengalaman merasakan didasarkan pada fakta sebagai lawan teori atau abstrak. Legal culture therefore in the former group is influenced by academics, learned members of the profession and historically, philosophers. Budaya hukum karena itu dalam kelompok mantan dipengaruhi oleh akademisi, belajar anggota profesi dan historis, filsuf. The latter group's culture is harnessed by beliefs, values and religion at a foundational level. Budaya kelompok terakhir ini dimanfaatkan oleh keyakinan, nilai dan agama pada tingkat dasar.

4). Sistem Hukum Nasional.
Sistem hukum Indonesia adalah kompleks karena merupakan pertemuan tiga sistem yang berbeda. Prior to the first appearance of Dutch traders and colonists in the late 16th century and early 17th century, indigenous kingdoms prevailed and applied a system of adat (customary) law. Sebelum penampilan pertama dari pedagang Belanda dan koloni di akhir abad ke-16 dan abad 17 awal, kerajaan pribumi menang dan menerapkan sistem adat (adat) hukum. Dutch presence and subsequent colonisation during the next 350 years until the end of World War II left a legacy of Dutch colonial law. Kehadiran Belanda dan penjajahan berikutnya selama 350 tahun berikutnya hingga akhir Perang Dunia II meninggalkan warisan hukum kolonial Belanda. A number of such colonial legislation continue to apply today. Sejumlah undang-undang kolonial seperti ini terus berlaku hari ini. Subsequently, after Indonesian declared independence on 17 August 1945, the Indonesian authorities began creating a national legal system based on Indonesian precepts of law and justice. Selanjutnya, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mulai menciptakan sistem hukum nasional Berdasarkan indonesian ajaran hukum dan keadilan.
These three strands of adat law, Dutch colonial law and national law co-exist in modern Indonesia. Ketiga helai hukum adat, hukum kolonial Belanda dan hukum nasional hidup berdampingan di Indonesia modern. For example, commercial law is grounded upon the Commercial Code 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang or Wetboek van Koophandel), a relic of the colonial period. Sebagai contoh, hukum komersial didasarkan pada Kode Komersial 1847 (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel), sebuah peninggalan masa kolonial. However, commercial law is also supplemented by a large number of new laws enacted since independence. Namun, hukum komersial juga dilengkapi dengan sejumlah besar undang-undang baru diberlakukan sejak kemerdekaan. They include the Banking Law 1992 (amended in 1998), Company Law 1995, Capital Market Law 1995, Antimonopoly Law 1999 and the Oil & Natural Gas Law 2001. Mereka termasuk UU Perbankan 1992 (diamandemen pada 1998), Hukum Perusahaan 1995, Undang-undang Pasar Modal 1995, UU Antimonopoli 1999 dan Hukum Gas Alam Minyak & 2001. Adat law is less conspicuous. Hukum adat yang kurang mencolok. However, some adat principles such as “consensus through decision making” (musyawarah untuk mufakat) appear in modern Indonesian legislation. Namun, beberapa prinsip-prinsip adat seperti "konsensus melalui pengambilan keputusan" (musyawarah mufakat UNTUK) muncul dalam undang-undang Indonesia modern.

6. Politik Hukum Nasional Indonesia.
a) Sendi-sendi Hukum Nasional.
b) Sistem Peradilan di Indonesia dan Penegakkanya.
c) Kebijakan dan Program Pembangunan Hukum Nasional menyangkut
(materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana).

7. Bidang-bidang/lapangan hukum dalam tata hukum Indonesia
a) Hukum Pidana.
dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak,kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakkan untuk mempertahankan status diri.
Hukum Pidana ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam menindakan pelanggaran kepentingan umum.
Secara Konkrit tujuan hukum pidana ada dua, ialah:
1) Untuk menakut-nakuti semua orang agar jangan sampai nelakukan perbuatan yang tidak baik.
2) Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala sosial yang kurang sehat disamping pengobatan bagi yang telah terlanjur berbuat tidak baik. Tujuan hukum pidana itu juga memberi sistemdalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu: asas-asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem.
Ilmu-ilmu pembantunya dalam hukum pidana antaranya:
1) Antropologi
2) Filsafat
3) Etihca
4) Statistik
5) Medicina forensic (ilmu kedokteran bagian kehakiman)
6) Psychiatrie - kehakiman
7) Kriminologi
Peristiwa Pidana, yang juga disebut tindakan pidana (delict), ialah suatu perbuatan atau suatu rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan Hukum pidana. Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:

1) Hukum Pidana Obyektif, (Jus Punale),
Yakni suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat hukum yang oleh hukumdilarang oleh dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif disini adalah tindakannya.
Hukum Pidana Obyektif yang dapat dibagi:
a) Hukum Pidana Material
b) Hukum Pidana Formal (hukum Acara Pidana)

Pengertian dari Hukum Pidana Material, ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.

Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Pengertian dari Hukum Pidana Formal, ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari hukum pidana material).

2) Hukum Pidana Subyektif (Jus Puniendi),
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).

3) Hukum Pidana Umum, ialah Hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga diseluruh indonesia) kecuali anggota ketentaraan.

4) Hukum Pidana Khusus, ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu.
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer, berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dalam militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseorangan dan meraka yang membayar pajak (wajib pajak).

Maka jika ada sesuatu yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana, syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana ialah:
1) Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatantertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat sepertiyang terjadi danterhadapnya wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
3) Harus terbukti adana kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4) Harus berlawanan dengan hukum.
5) Harus tersedia ancaman hukumnya.

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Kita telah mengetahui bahwa sifat hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan; dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan-peraturan hukum. Tapi dalam hukum Pidana paksaan itu disertai sesuatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman. Hukuman itu bermacam-macam jenisnya.

Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana terdiri atas:
1.Pidana Mati.
2.Pidana Penjara:
3.Pidana seumur hidup.
4.Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).
5.Pidana Kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun).
6.Pidana denda.
7.Pidana tutupan.

2). Pidana Tambahan:
1) pencabutan hak-hak tertentu.
2) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
3) pengumuman keputusan hakim.

Hukuman-hukuman itu telah dipandang perlu, agar kepentingan umum dapat tetap terjaga dan terjamin keselamatannya.
1.Hukum Pokok

a. Hukuman Mati
Sejak hukum pidana berlaku dicantumkan sebagai Wetboek van strafrecht voor nederlandsch Indie diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pwmwrintah tidak menghendaki adanya ganguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti umum. Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam pasal 11 yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantung dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”. Ketentuan pasal ini mengalami perunahan yang ditentukan dalam S. 1945:123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa “Menyimpang dari apa yang tentang hal ini ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati yang dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh GubernurJenderal dilakukan secara menembak mati”. Maka hukuman mati dilaksanakan dengan “menembak mati” terhukum.

b. Hukuman penjara
Penjara adalah suatu tempat khusus dibuat dandigunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan hakim. Demikian diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumanya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Maka Pemerintah mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuklembaga disamping lamanya menjalani hukuman itu.

c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannya pun ringan. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa lamnya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan.

d. Hukuman denda
Ketentuan Hukuman Denda dicantumkan dalam pasal 30-33. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terpidana,maka akan dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.

2. Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahannya. Misalnya seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjaran dan dicabut hak pilihanya dalam pemilihan umum yang akan datang.
1) Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-undang Hukum Pidana Ialah peraturan hidup (norma) yang ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma mana ditambah dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang siapa yang melanggarnya.
Sistematika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang terdiri atas 569 pasal secara sistematik dibagi dalam:
- Buku I:Memuat tentang ketentuan-ketentuan umum (Algemene Leerstruken)Pasal 1–103,
- Buku II:mengatur tentang tindak Pidana Kejahatan (Misdrijven)pasal 104–488
- Buku III:mengatur tentang tindak pidana Pelanggaran (Overstredingen)Pasal 489 – 569.

Buku I sebagai Algemene leerstrukken mengatur mengenai pengertian dan asas-asas hukum pidana positif pada umumnya baik mengenai ketentuan-ketentuannya yang dicantumkan dalam buku II dan III maupun peraturan perundangan hukum pidana lainnya yang ada diluar KUHP.

2)Asas berlakunya Hukum Pidana.
Asas Nullum delictum ini memuat pengertian bahwa suatu perbuatan yang dilakukan tanpa Undang-undang yang sebelumnya telah mengatur tentang perbuatan itu tidak dipidanakan.
Asas Nullum delictum juga bertujuan melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang dari peradilan Arbitrer pada zaman sebelum Revolusi Prancis (1789-1795).
Asas iitu mempunyai makna yang bertujuan melindungi individu (legalitas). Pasal 1 ayat 1 KUHP yang memiliki asas legalitas itu mengandung beberapa pokok pemikiran sebagai berikut:
1) Hukum Pidana hanya berlaku terhadap perbuatan setelah adanya peraturan.
2) Dengan adanya sanksi pidana, maka hukum Pidana bermanfaat bagi masyarakat yang bertujuan tidak akan ada tindakan pidana karena setiap orang harus mengetahui lebuh dahulu peraturan dan ancaman hukum pidananya.
3) Menganut adanya kesamaan kepentingan yaitu selain memuat ketentuan tentang perbuatan pidana juga mengatur ancaman hukumanya.
4) Kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan individu.
Asas legalitas ini memiliki rancangan luas yang artinya dalam mengembangkan hukum pidana dapat disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

3). Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana.
Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat, yakni:
1) Asas Teritorialitas (Teritorialiteits beginsel)
Ketentuan asas ini dicantumkan dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana”. Bagi orang asing sebagai penghuni Indonesia, jika melakukan tindak pidana terhadapnya akan dikenakan tindak pidana aturan Indonesia. Berlakunya tindak pidana di Indonesia diperluas dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap kapal yang berbendera Indonesia dan bergerak diluar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya.
2) Asas Nasionalitas Aktif (actief nationalitetsbeginsel)
Aturan Nasionalitas Indonesia tujuanya untuk melindungi kepentingan umum (nasional). Asas kepentingan Nasional dalam aturan Hukum Pidana Indonesia disebut “Nasionalitas Aktif” atau Personalitas (personalitetsbeginsel). Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan hukumannya yang dicantumkan dalam pasal 6 dan menyatakan bahwa “berlakunya pasal 5 ayat 1 sub 2 itu dibatasi hingga tidak boleh dijatuhkan pidana mati untuk peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu dilakukan”.
3) Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationalitets beginsel)
Asas ini juga disebut “asas Perlindungan” (beschermingsbeginsel) bertujuan melindungi kepentingan terhadap tindakan baik warga negara sendiri maupun orang asing yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia yang dilakukannya untuk menjatuhkanwibawa dan martabat Indonesia. Pasal 8 menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi nakhoda dan pelayar bahtera Indonesia yang diluar wilayah, walaupun tidak berada diatas pelayaran, melakukan salah satu tindak pidana yang diterangkandalam Bab XXIX buku kedua dan Bab IX buku ketiga, demikian juga yang diterapkan dalam Peraturan umum tentang surat laut dan pas kapal di Indonesia dan dalam Ordonansi kapal 1927.
4) Asas Universalitas (Universaliteits beginsel)
Asas Universalitas bertujuan untuk melindungi hubungan antarnegara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah kepentingan negara lain sebagai tempat dilakukan suatu tindak pidana tertentu. Tercantum dalam pasal 4 sub 4 yang menyatakan bahwa “melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasal 438, 444-446 tentang pembajakan dan yang ditentukan dalam pasal 447 tentang menyerahkan suatu bahtera kapada kekuatan pembajak laut.