MUATAN DASAR
PSIKOLOGI HUKUM
A. Pengertian, Ruang Lingkup, Krakteristik dan Manfaat Psikologi Hukum
1. Pengertian Psikologi Hukum
Sebelum diuraikan pengertian psikologi hukum, penulis terlebih dahulu
akan menjelaskan terminologi tersebut secara terpisah, mengingat metode
kajian disiplin ilmu tersebut yang berbeda.
Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom
dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu
masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering
menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah yang singkat
psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi
terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani
psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia yang
dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat
diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga
dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal
ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti
berikut ini:
1. Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita
sebut pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta
kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman
luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
2. William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan
mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa
yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis,
keputusan-keputusan dan sebagainya.
3. James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja,
normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan
pokok permasalahannya.
4. John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang
menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang
dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
5. Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
6. Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba
menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang
sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
7. Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi
hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami
perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau
disebut pengalaman.
8. Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah
mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang
dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan
kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan
mimpi.
9. Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai
proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal
manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai
individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian
manusia, juga seluruh aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan
hidup atau sebabnya hidup (anima), tingkah laku pada manusia menurut
Aristoteles memperlihatkan tingkatan sebagai berikut (Dirgagunarsa dalam
Alex Sobur, 2003; Edy Yusuf, 2000)
1. Anima vegetative: yang terdapat pada tumbuhan, yang merupakan kemauan untuk makan, minum, dan berkembang biak.
2. Anima sensitive: yang ada pada hewan, berupa kemampuan yang sama
dengan tumbuhan ditambah kemampuan berpindah tempat, nafsu, mengingat,
makan, dan merasakan.
3. Anima intelektiva: yang ada pada manusia, selain merupakan kemampuan
yang sama pada tumbuhan dan hewan, juga memiliki kemampuan berpikir dan
kemauan atau kehendak.
Manusia yang memiliki kemampuan anima vegetative dan anima sensitive,
sebagai kekuatan atau pergolakan jiwa juga dipegaruhi aktivitas yang
melibatkan alam bawah sadar (Sigmund Freud, 1856-1939). Tegasnya menurut
freud, justru kegiatan dan tingkah laku manusia sehari-hari dipengaruhi
oleh alam bawah sadar. Secara kiasan, jiwa manusia digambarkan bagai
gunung es di tengah-tengah samudera dan yang nampak di permukaan laut
hanyalah sepersepuluh saja, sedang sembilan persepuluhnya berada di
dalam samudera bawah sadar, proses kejiwaan itu bersumber kepada id,
ego, dan superego.
(a) Id, merupakan unsur landasan dasar dan merupakan sumber energi
psikis yang berasal dari instink-instink biologis manusia. Yang
terpenting dari semua instink tersebut adalah instink seksual dan
agresivitas, kedua instink ini yang mempengaruhi dan membimbing tingkah
laku manusia. id mewakili segi-segi instinktual, primitif dan irasional
dan menjadi reservoir dari dorongan-dorongan yang tidak disadari (das
unbewuszte). Oleh karena itu proses-proses mental dari anak akan
mengkostitusikan aktivitas mental dari anak-anak pada tahap awal
kehidupannya;
(b)Ego, merupakan proses jiwani yang logis dan mempunyai fungsi untuk
mempermudah transaksi/perbuatan manusia dalam menguasai alam
lingkungannya. Ego itu mencakup kemampuan untuk merencanakan, memecahkan
masalah dan menciptakan tekhnik untuk menguasai dunia di sekitarnya.
Ego diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengendalikan impuls-impuls
manusia, karena ekspresi hiperaktif dari impuls seksual dan dorongan
agresivitas bila tidak mampu dikendalikan akan mencelakakan manusia,
jadi tugas ego adalah mengekang dan mengontrol kekuatan-kekuatan dari id
(ego sebagai alam sadar/das bewuszte) dan menjamin kelancaran interaksi
individu dengan dunia sekelilingnya;
(c) Superego, adalah fungsi mental yang disebut sebagai hati nurani.
Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari
nilai-nilai orang tua pada diri anak. Yaitu nilai yang ditanamkan dengan
sanksi hukuman jikalau anak melanggar, dan akan mendapat hadiah jikalau
nilai-nilai tersebut ditaati. Norma-norma moral tersebut, yang
menjelaskan arti tabu, kesalahan/dosa dan kebenaran. Jadi superego
merupakan alat keseimbangan mencakup das bewuszte dan unbewuszte.
Setelah di atas diuraikan beberapa pengertian psikologi, selanjutnya
akan diuraikan pengertian “hukum” untuk memperoleh keterpaduan antara
psikologi dan hukum.
Karya filsuf Aritoteles (384-322 SM) telah mempopulerkan konsep negara
demokrasi yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang merosot dan
menurutnya (dalam aliran hukum alam oleh Friedman: 1990) sebuah negara
mestinya pemerintahannya berdasarkan hukum, karena filsuf sulit
ditemukan untuk untuk menjadi pemerintah yang bajik, tetapi yang
jelasnya Aristoteles telah menaruh harapan dengan penekanan konsep
keadillan distributif, keadilan kumulatif, dan keadilan remedialnya
(Aristoteles, 2007 dalam La Politica; Faturochman dalam Keadilan
Perspektif Psikologi, 2002; Rawls,2000 dalam Teori Keadilan dan Teitel,
2004 dalam Keadilan Transisional). Menurut Achmad Ali (2002: 259)
”formulasi dari hukum alam adalah problem esensial dari keadilan”.
Esensi dari keadilan tersebut menjadi renungan filsafat hukum untuk
menelorkan beberapa defenisi hukum.
Adanya hukum senantiasa menggerakan daya pikir manusia, sehingga timbul
pertanyaan: apa arti hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli
hukum akan memberikan defenisi tentang hukum. Akan tetapi belum pernah
terdapat defenisi hukum yang memuaskan. Apa yang ditulis Kant lebih dari
150 tahun yang lalu ‘Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem
begriffe von recht” masih tetap berlaku, karena hukum bukanlah gunung
atau kuda yang setelah didefenisikan kita dapat melihatnya. Demikian
juga Van Apeldoorn (1973:13) “berpendapat bahwa defenisi hukum itu
sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan
sesuai dengan kenyataan”.
Meskipun demikian atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono
Soekanto, sebagaimana dikemukakan oleh Wawan Tanggul Alam (2004:10-12)
mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku yang pantas dan diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu,
serta berbentuk tertulis.
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum.
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi.
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8. Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur.
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
10. Hukum sebagai seni.
Secara umum, hukum adalah seperangkat aturan baik yang tertulis (dibuat
oleh negara yaitu antara presiden dan DPR) maupun yang tidak tertulis
(living law: hukum yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat) yang
dijalankan oleh yang mengatur maupun yang diatur dan masing-masing
mengakui daya keberlakuan dan mengikatnya aturan tersebut.
Dari pengertian-pengertian psikologi dan hukum yang telah disebutkan di
atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut
kajiannya adalah keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika
menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan
diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta
memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan “bahwa psikologi
bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam
Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang
berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya
berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan
yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum
adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis,
ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk
menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk
memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum
dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan
individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku
atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam
kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum
yang disebut psikologi hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1983:2)
“psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum
sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga
landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Karena hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan pengadilan dan
peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan
krakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri.
Aliran pemikiran hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Achmad
Ali (2002: 274) “bahwa G. Puchta, murid Friedrich Carl Von Savigny (1779
- 1861) menamai hukum volkgeist yaitu hukum merupakan pencerminan dari
jiwa rakyat”.
Hukum modern yang cenderung penggunaannya sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dikehendaki telah memasuki bidang psikologi, seorang
ahli filsafat hukum Leon Petrazycki (1867-1931) menggarap unsur
psikologi dalam hukum dengan meletakkannya sebagai unsur utama.
“Petrazycki berpendapat, bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari
proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan
metode interospeksi” (Bodenheimer, 1947: 107). Apabila kita
mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan
melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena
hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan
semata-mata karena keyakinan kita sendiri. Ia memandang hak-hak dan
kewajiban sebagai “phantasmata” yang hanya ada dalam pikiran kita,
tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan
“pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka
yang merasa terikat olehnya.
Penulis berikutnya yang menganalisis hukum dari sudut psikoanalisis
adalah Jerome Frank dalam law and modern Mind. Frank dalam ajaran hukum
tradisional, melihat adanya keinginan akan kepastian yang ia samakan
dengan kebutuhan bayi yang sangat akan kekuasaan yang sempurna (rasa
kebapakan). Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang
psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget. Secara sistematis ia
menjelaskan sebagai berikut:
a. Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai
seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah ketakutan kepada hal-hal
yang tidak diketahui, kepada kesepakatan dan perubahan, sebagai
faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak;
b. Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita-cita rasa
kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian yang sempurna, kesenangan,
perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak
secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh yang penuh
kepastian, dan bisa dikontrol;
c. Si anak mendapat kepuasannya akan kerinduannya itu, pada umumnya
melalui kepercayaan dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak
ada bandingannya, yang serba bisa dan selalu berhasil;
d. Sekalipun orang semakin menjadi dewasa, kebanyakan orang pada
waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan kekanak-kanakan
tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam
keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya.
“ketergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk
melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri;
e. Hukum bisa dengan muda dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan
yang penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab
secara fungsional tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai hakim;
f. Ayah sebagai hakim dari si anak tidak pernah gagal.
Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan
ketertiban dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan
mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak
pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka
ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa
menyadari sepenuhnya akan motivasi dibelakangnya, mencari kewibawaan
(authoritativeness), kapasitas dan prediktibilitas dalam sistem-sistem
hukum. Anak ini percaya bahwa sang ayah telah meletakkan itu semua di
dalam hukum;
g. Dari sinilahlah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah atau bisa dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan.
Pada tahun 1971, juga muncul karya Albert A. Ehrenzweigh, guru besar di
universitas California Psychoanalytic Jurisprudence. Tesis yang
dikemukakan dalam buku tersebut diringkas dalam kata-katanya “zaman
plato telah digantikan oleh zaman freud” (Ehrenzweigh: 1971, 35). Bagian
pertama dari bukunya adalah penceritaan kembali suatu daftar panjang
dari teori-teori dan pemikiran dalam hukum. Ehrenzweigh menjadikan
Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua pemikiran tentang hukum,
Freud diterimanya sebagai seorang yang telah mampu menelanjangi apa yang
sebetulnya selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritisi,
sehingga menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu
hukum, dengan menggunakan psycoanalysis, mengaitkan dengan persoalan
superego, ego, Ehrenzweigh mengupas soal keadilan, kesalahan dalam hukum
perdata dan pemidanaan.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:
1. Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour).
(Sorjono Soekanto,1989; Achmad Ali,1990; R. Ridwan Syahrai,1999;
Bernard Arief Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono,
2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
2. Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum
meliputi Psycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku
kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology
dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
3. Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari
pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi
untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif,
perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh
para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
4. Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan
saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt
R. Bartol:1983)
5. Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari
hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih
menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari
kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum
(saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum,
pengacara hakim dan terpidana). (Achmad Ali, 2008: 9-10).
6. psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan
perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya
dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi
psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
7. Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena
kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum,
terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan
pemeriksaan di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
8. Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal;
sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami
hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut
pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku
(empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
9. psychology and law is a relatively young field of scholarhip.
Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to
psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to
research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony),
developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior),
clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the
polygraph), and industrial organizational psychology (e.g, sexual
harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law:
2008)
10. legal psychology involves empirical, psychology research of the law,
legal institution, and people who come into contant with the law. Legal
psychologist typically take basic social and cogniive theories and
principles and apply them to issues in the legal system such as
eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and
interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into
usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of
legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology.
(Wikipedia, The Free Encyclopedia)
2. Ruang Lingkup Psikologi Hukum
Lapangan atau riset psikologi hukum, hanya dapat dikemukakan, setelah
kita meninjau studi atau objek tinjauan dari psikologi. Olehnya itu
akan diuraikan beberapa orientasi lapangan psikologi dari berbagai macam
sudut pandang:
Menurut Abdul Jamali (1884: 18-19) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Pandangan masyarakat yaitu bidang kehidupan masyarakat secara umum
yang memberikan pandangan terhadap psikologi dalam arti luas, meliputi:
a. Psikologi perusahaan, mempelajari tingkah laku manusia di dalam
perusahaan mengenai seleksi calon karyawan, penempatan, pendidikan, dan
latihan, penilaian personil dan masalah organisasi.
b. Psikologi sekolah, mempelajari masalah sekolah yang meliputi tentang
tingkah laku manusia di sekolah dari sejak seleksi penerimaan calon,
cara-cara pendidikan yang baik, mengusahakan cara-cara evaluasi yang
obyektif, memberikan bimbingan dan konseling.
c. Psikologi militer, mempelajari tentang tugas-tugas militer.
d. Psikologi kedokteran, mempelajari jabatan kedokteran.
e. Psikologi pastorial, mempelajari jabatan pastor.
f. Psikologi seni.
g. Psikologi musik.
2. Pandangan teori psikologi
Menurut tujuan utama penelitian yang digunakan, terdiri dari:
a. psikologi umum, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk menemukan hukum-hukum psikologi yang berlaku bagi semua orang.
b. Psikologi diferensial, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk
melakukan hukum-hukum psikologi yang menyangkut mengenai perbedaan antar
manusia.
Secara teoritis pembagian psikologi terdiri dari:
a) psikologi tingkah laku, termasuk psikologi sosial.
b) Psikologi fungsi, termasuk psikologi eksprimen, psikologi pengamatan, psikologi belajar, dan psikologi berpikir.
c) Psikologi perkembangan.
d) Psikologi kepribadian.
e) Psikologi ajaran metode.
3. Pandangan menurut aliran dalam psikologi
Berdasarkan pandangan ini psikologi dibagi:
a. Psikologi dalam, mempelajari tantang dunia tidak sadar
(psikoanalisis, behaviourism, ganzheitspsychologie, psikologi
fenomenologi)
b. Psikologi terapan, mempelajari masalah psikologi tanpa ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Gerungan (2004: 19-22) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Psikologi teoritis
a) Psikologi umum, menguraikan dan menyelidiki kegiatan psikis pada
manusia dewasa yang normal, termasuk kegiatan pengamatan, pemikiran,
intelegensi, perasaan, kehendak, motif-motif dan attitude.
b) Psikologi khusus, menguraikan dan menyelidiki segi-segi khusus pada
kegiatan psikis manusia, segi-segi khusus ini antara lain:
a. Psikologi perkembangan (psikologi genetic), menguraikan perkembangan
kegiatan psiko manusia sejak kecil sampai dewasa dan selanjutnya
psikologi perkembangan ini terbagi-bagi kedalam: psikologi anak,
psikologi pemuda, psikologi orang dewasa, dan psikologi orang tua.
b. Psikologi kepribadian dan tipologi, menguraikan struktur kepribadian
manusia sebagai suatu keseluruhan, serta mengenai jenis-jenis atau
tipe-tipe kepribadian.
c. Psikologi sosial, menguraikan kegiatan-kegiatan dalam hubungannya
dengan situasi sosial, seperti situasi kelompok dan situasi masa.
d. Psikologi pendidikan, menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegitan manusia dalam situasi pendidikan, dan situasi belajar.
e. Psikologi diferensial dan psikodiagnostik, menguraikan
perbedaan-perbedaan antar individu dalam kecakapan-kecakapan,
intelegensi, ciri-ciri kepribadian dan mengenai cara-cara untuk
menentukan perbedaan tersebut.
f. Psikopatologi, yang menguraikan kegiatan-kegiatan manusia yang berjiwa abnormal.
2. Psikologi terapan
a. Psikodiagnostik, dengan menggunakan interview, observasi, dan tes
psikologi dapat menentukan struktur kepribadian seseorang antara lain
struktur intelegensinya, perkembangan bakat, kemampuan dan kecakapannya.
b. Psikologi klinis, bimbingan psikologi untuk menolong orang-orang yang menderita kesulitan psikis yang beragam bentuknya.
c. Psikologi perusahaan, membantu kesulitan yang terjadi di dalam
perusahaan, seperti psikologi kepemimpinan, seleksi pegawai dalam
perusahaan, menemukan cara-cara pendidikan yang terbaik untuk tenaga
terlatih, memperbaiki lingkungan kerja pegawai, menyelesaikan
kesulitan-kesulitan (benturan) pegawai, bimbingan dan penyuluhan, usaha
meningkatkan produksi.
d. Psikologi pendidikan, berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
dunia pendidikan, seperti seleksi dan penyaluran calon-calon,
menyelidiki cara-cara pendidikan yang sebaik-baiknya.
e. Mengusahakan cara-cara evaluasi yang objektif, bimbingan dan penyuluhan pelajar dan mahasiswa.
Menurut Rita L. Atkinson Dkk, (1983) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
a. Psikologi perkembangan, membicarakan perkembangan psyche manusia dari
kecil sampai tua, mencakup psikologi anak, psikologi puber, psikologi
orang dewasa, psikologi lansia.
b. Psikologi sosial, menguraikan tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku.
c. Psikologi kepribadian, mempelajari cara pengelompokan individu untuk
tujuan praktis dan mempelajari kualitas setiap individu yang unik.
d. Psikologi sekolah dan pendididikan, menguraikan kegiatan-kegiatan
atau aktivitas-aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi
pendidikan dan sekolah, seperti memberikan dan menafsirkan hasil
intelegensi, tes hasil belajar, tes kepribadian dan bagaimana cara
menarik perhatian agar pelajaran dengan mudah dapat diterima.
e. Psikologi industri dan rekayasa, psikologi yang berhubungan dengan
soal-soal perusahaan dan bagaimana membuat hubungan antara manusia
dengan mesin sebaik mungkin, seperti menyusun program pelatihan praktik
kerja dan keterlibatan psikolog dalam merancang kapsul untuk astronot.
f. Psikologi forensik, bekerja dalam berbagai sistem pengadilan dan
sistem rehabilitasi, seperti berkonsultasi dengan instansi kepolisian
dan petugas pengadilan dalam meningkatkan pengertian terhadap masalah
manusia yang harus mereka tangani, berhadapan dengan narapidana dan
keluarga mereka, berperan dalam mengambil keputusan apakah tertuduh
cakap bertindak di peradilan, dan menyiapkan laporan psikologis untuk
membantu memutuskan tindakan yang paling sesuai bagi terpidana.
g. Ilmu perilaku dan ilmu sosial, studi yang melakukan kajian pada
setiap individu dan tata hubungan kelembagaan dalam keluarga, tetangga,
dan masyarakat.
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial,
tentunya akan melakukan pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum
khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari
riset psikologi juga akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara
jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam
beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3. Perilaku menyimpang.
4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
3. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga
membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi
dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S.
Clark, 2007; Stephenson, 2007; dan Achmad Ali, 2008: 7) dibedakan dari
sudut pandang apa yang diistilahkan:
1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu
kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti
tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata,
kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan
perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal
research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti
kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi
mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu,
perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai
sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan
kejahatan.
4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi
untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam
pengadilan).
5. criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi
hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari
pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa
seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada
momen penjatuhan pidana
6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya
pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum.
Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban,
meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik
terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan
kemampuan otak manusia.
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law,
volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum
melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan
hak asuh anak seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan
anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan
benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi
menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka
mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri
mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang
menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses
persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita
gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata?
dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang
pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan
cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?
Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan
suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam
hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum
tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan
mempelajari segi-segi kekhususan dari aktifitas psikis manusia.
Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi
hukum akan dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
1. Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.
2. Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang
melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Menurut Soerjono Soekanto (1989:17-18):
“Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang
ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan
keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan
tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada
penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat,
secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:
Neurosis psikhosis
Normal x x abnormal
Pada titik normal, seseorang mematuhi kaedah hukum dalam keadaan
tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah
faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah
hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong
orang untuk melanggar kaedah hukum”.
3. krakteristik dan manfaat psikologi hukum
Ketika seorang menjadi pengendara dalam lalu lintas, banyak keadaan yang
menyebabkan sehingga orang taat pada peraturan lalu lintas. Menurut
Kelman sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 193), bahwa orang
taat pada hukum dipengaruhi oleh beberapa hal:
(a) Compliance yaitu jika seoarang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut akan sanksi.
(b) Identification yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan hanya
karena takut hubungan baiknya dengan seorang menjadi rusak.
(c) Internalization yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan
benar-benar karena ia merasa aturan itu sudah sesuai dengan nilai-nilai
intrinsik yang dianutnya.
Penyebab orang taat atau tidak taat pada hukum merupkan kajian hukum
yang bersifat empiris, yang mengkaji hukum dalam kenyataan (law in
action), yang dapat dikaji melalui sosiologi hukum, antropologi hukum,
dan psikologi hukum.
Psikologi hukum yang melakukan studi terhadap fenomena hukum yang
meliputi kenyataan sosial, kultur, perilaku dan lain-lain adalah kajian
hukum yang bersifat deskriptif. Menurut Lawrence Wrigstman (dalam
Musakkir, 2005: 47), krakteristik dari pendekatan psikologi terhadap
hukum adalah
”psychological approach to the law emphasizes the human determinants of
the law. So do sociology and anthropology – but the focus in the
psychological approach is on individual as the unit analysis.
Individuals are seen as responsible for their own conduct and as
contributing to its causation. Psychology looks at the impact of the
police officer, the victim, the juror, the lawyer, the judge, the
defendant, the prison guard, and the parole officer on the legal system.
Psychology assumes that the characteristics of these participants in
the legal system effect how the system operates. In “characteristics”,
include these persons’ abilities, their perspectives, their values,
their experience – all the factors that influence the is behavior”.
(pendekatan psikologis terhadap hukum menekankan determinan manusia
terhadap hukum. Demikian juga ilmu antropologi dan sosiologi - tetapi
fokus di dalam pendekatan psikologi adalah pada individu sebagai unit
analisis. Individu dilihat sebagai yang bertanggung jawab untuk tindakan
dan akibat dari apa yang diperbuatnya. Psikologi meneliti pada dampak
dari pegawai kepolisian, korban, anggota juri, pengacara, hakim,
terdakwa, penjaga tahanan, dan pembebasan bersyarat pegawai dalam sistem
hukum. Psikologi berasumsi bahwa karakteristik dari partisipan di dalam
sistem yang hukum mempengaruhi bagaimana sistem hukum beroperasi. Di
dalam "karakteristik", meliputi kemampuan dari pribadi orang tersebut,
perspektif mereka, nilai-nilai yang mereka anut, pengalaman mereka -
semua faktor yang mempengaruhi perilaku itu"). (terjemahan bebas oleh
penulis)
Selanjutnya Musakkir (2005: 47) menguraikan bahwa kajian psikologi hukum menekankan kepada
“Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok
dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau
perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi
terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam
melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka?
Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan
menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh
kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak
hukum lainnya”.
Psikologi yang memasuki ranah hukum bernaung dalam satu bidang kajian
yang dinamakan dengan ‘psikologi dan hukum’ (psychology and law).
Psikologi dan hukum memayungi beberapa kajian psikologi dalam ranah
hukum. Secara garis besarnya ada sejumlah bidang kajian, yakni psikologi
penegakan hukum (law enforcement psychology), psikologi untuk menangani
narapidana (correctional psychology), psikologi forensik (forensic
psychogy), dan psikologi hukum (legal psychology).
Psikolologi penegakan hukum, psikologi narapidana, dan psikologi
forensik adalah turunan dari psikologi klinis. Psikologi penegakan hukum
memfokuskan penelitiannya pada aktivitas badan penegakan hukum dan
menyediakan layanan psikologis untuk badan tersebut. Misalnya tes
psikologis untuk calon polisi, promosi jabatan, pemecatan hubungan
kerja, dan intervensi untuk polisi yang terlibat masalah. Tidak heran
jika ada pula istilah psikologi polisi yang muncul dari hasil-hasil
penelitian psikologi penegakan hukum ini. Sedangkan psikologi narapidana
itu berfokus pada penanganan narapidana. Layanan yang diberikan
misalnya mengajarkan strategi penanggulangan masalah, manajemen
kemarahan, dan sebagainya. Sedangkan psikologi forensik membantu bidang
hukum dalam melakukan analisis kompetensi seseorang apakah ia dapat
mengikuti persidangan dan bertanggung jawab atas tindakan kejahatannya
(criminal competence and responsibility), dampak psikologis yang dialami
seseorang dalam persidangan, kompetensi mental seseorang pada situasi
nonkriminal (mengatur keuangan, keputusan untuk menerima perawatan
medis/psikiatris), otopsi psikologis (psychological autopsies) pada
seseorang yang sudah meninggal dunia, criminal profiling, dan analisis
kelayakan seseorang sebagai orangtua untuk penentuan hak asuh anak.
Sedangkan Craig Haney (dalam Curt R. Bartol:1983) membagi pendekatan
psikologi yaitu:
”psychology can relate to law in three ways: psychology in the law,
psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the
law relationship is the most frequent application of psychology to the
legal system. In this situation, jurits use psychologists and their
knowlegde for spesific cases, as by having them testify about a
defendant’s mental condition or consult with attorneys regarding jury
selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law
dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns
itself with law as a determinant of behavior”.
Craig Haney menjelaskan bahwa keterkaitan antara psikologi dan hukum
dapat dikaji melalui tiga metode yaitu psikologi dalam hukum, psikologi
dan hukum, dan psikologi terhadap hukum. Hubungan Psikologi dalam hukum
merupakan aplikasi psikologi yang paling sering terhadap sistem hukum,
seperti penggunaan psikolog oleh yuri untuk sebuah kasus dalam
memperoleh kesaksian tentang kondisi mental terdakwa dan konsultasi
pengacara berkenaan dengan pemilihan yuri. Psikologi dan hukum , baik
psikologi maupun hukum tidak mendominasi dan mendikte kepada yang
lainnya. Psikologi terhadap hukum, menganggap dirinya dengan hukum
sebagai suatu determinan dari perilaku. Berdasarkan uraian di atas
krakteristik psikologi hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Krakteristik dari pada psikologi hukum yaitu pada partisipan penegak
hukum yang dipengaruhi oleh perspektif mereka (partisipan hukum),, nilai
yang dianut (value), pengalaman (exprience), kemampuan (ability)
orang/partisipan hukum tersebut.
2. Penekanan psikologi hukum pada faktor internal (pribadi) partisipan
hukum, yang melihat pada fakta-fakta yang bersifat istimewa
(idiosyncracy fact) tentang psikologi dan kepribadian individual.
3. Merupakan kajian yang bersifat logis, empirik dan analitik yang memusatkan pada isu-isu yang sangat luas.
4. Merupakan kajian yang bersifat deskriptif dan menjelaskan pengalaman
dan perilaku manusia melalui logika, metode ilmu dan riset.
5. Menekankan determinan-determinan manusia dari hukum (peraturan perundang-undangan dan putusan hakim).
6. Secara umum objeknya adalah manusia dengan kegiatan-kegiatannya dalam
hubungan dengan lingkungannya, yaitu perilaku (behaviour) dan fenomena
hukum.
7. Mempelajari hukum sebagai pembentukan hasil jiwa manusia (volkgeist) baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan.
8. Mempelajari faktor-faktor pribadi yang mendorong orang untuk mematuhi kaedah hukum dan melanggar kaidah hukum.
Psikologi hukum sebagai pendekatan psikologi yang bersifat individual
terhadap hukum memiliki beberapa manfaat, menurut Soerjono Soekanto
(1989: 54) mengemukakan pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum
sebagai berikut:
1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum
serta pengertiannya, seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Untuk menerapkan hukum, dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku.
3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketenteraman yang menjadi tujuan utama dari hukum.
4. Untuk sebanyak mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam penegakan hukum.
5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih mengenal diri atau ligkungannya.
6. Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan penciptaan kedamaian.
Demikan halnya Munir Fuady (2007:14-15), mengemukakan mengapa psikologi penting untuk diterapkan dalam ilmu hukum? Antara lain:
1. Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan
kondisi psikologis dari para penegak dan para penerap hukum.
2. Menurut ilmu psikologi, khususnya psikologi baru (new psychology),
berbagai konsep abstrak dari hukum hanyalah merupakan suatu ilusi yang
berasal dari kebutuhan akan kepastian (certainty), perdamaian internal
(inner pace), dan ilusi terhadap kebutuhan akan kepastian (exactness)
3. Para penegak hukum dengan bantuan ilmu psikologi dapat mengetahui kebohongan dari saksi atau tersangka ketika diperiksa.
4. Bahwa apa yang disebut perasaan hukum, kesadaran hukum dan jiwa
bangsa (Volkgeist) tidak lain merupakan ungkapan-ungkapan yang
berkonotasi psikologis.
5. Penganut realisme hukum berpendapat bahwa setiap persolan hukum tidak lain hanya proses psikologi.
6. Dengan bantuan ilmu psikologi, para penegak hukum dapat mengetahui
keadaan psikologisnya sendiri ketika menegakkan dan menerapkan hukum.
Karena itu mestinya seorang penegak hukum paham dengan konsep-konsep
psikologis
Oleh karena psikologi sangat penting bagi ilmu hukum dalam mengetahui
latar belakng kejiwaan seseorang, maka mempelajari psikologi hukum dapat
diperoleh beberapa manfaat antara lain :
1. Dapat melakukan analisis yang tajam antara fenomena hukum dengan hukum itu sendiri.
2. Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap
penegak hukum maka kita dapat mensinkronkan antara hukum dan perilaku
penegak hukum.
Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan ke depan maka
penelitian diarahkan pada dua tujuan penting penelitian psikologi dalam
bidang hukum sebagaimana dikemukakkan oleh Brigham (1991, Dalam Rahayu:
2000) yaitu:
a) Pemahaman perilaku manusia dalam sistem peradilan akan meningkatkan pemahaman tentang manusia secara umum;
b) Pengetahuan psikologi dalam bidang hukum dapat dipergunakan untuk
memperbaiki sistem hukum secara khusus dan menaikkan kualitas keadilan
B. Aplikasi Psikologi Terhadap Ilmu Hukum
1. Pendekatan Psikologi Terhadap Hukum
Jika seorang hakim laki-laki atau perempuan memutus perceraian. yang
sama-sama menggunakan dasar dan pertimbangan hukum yang sama dalam
perceraian, apakah akan sama putusannya? Bagi penganut hukum normatif
yang menjadikan Undang-undang sebagai sebagai sumber peraturan belaka
(hakim adalah terompet/corong Undang-undang) maka akan menjawab “sama
saja putusannya”, tapi seorang psikolog akan menganalisis dan mengatakan
hal yang berbeda dengan jawaban tersebut, karena kemungkinan hakim
perempuan lebih mempertimbangkan masa depan seoarang perempuan yang
menjanda dan harus menjadi single parent untuk membesarkan anak-anaknya.
Pertimbangan psikolog terhadap pertanyaan tersebut, yaitu dapat dikaji
melalui pedekatan psikologi terhadap ilmu hukum. Dalam psikologi
dikenal beberapa pendekatan, menurut Rita L. Atkinson (1983: 7-15)
pendekatan itu terbagi atas:
a) Pendekatan Neurobiology
Suatu pendekatan terhadap studi manusia, berusaha menghubungkan perilaku
dengan hal-hal yang terjadi di dalam tubuh, terutama dalam otak dan
sistem saraf. Pendekatan ini mencoba mengkhususkan proses neurobiologi
yang mendasari perilaku dan kegiatan mental. Contohnya seorang ahli
psikologi yang sedang mendalami pendekatan neurobiologi, menaruh
perhatian pada perubahan yang terjadi dalam sistem saraf karena adanya
proses belajar mengenai hal yang baru.
b) Pendekatan Perilaku
Pendekatan yang mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya
sebagi subyek tunggal. Contohnya seseorang makan pagi, naik sepeda,
berbicara, memerah mukanya, tertawa, dan menangis.
c) Pendekatan Kognitif
Studi illmiah mengenai proses mental dari persepsi, ingatan, pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan,
memecahkan persoalan, dan merencanakan masa depan.
d) Pendekatan Psikoanalitik
Suatu pendekatan yang melihat perilaku sebagai bagian dari proses yang
tidak disadari seperti pemikiran, rasa takut, dan keinginan-keinginan
yang tidak disadari seseorang tetapi membawa pengaruh terhadap
perilakunya.
e) Pendekatan Fenomenologis
Suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pengertian mengenai
kehidupan dalam dan pengertian mengenai pengalaman individu. Contohnya,
pengamatan terhadap konsep diri seseorang, perasaan harga diri, dan
kesadaran akan diri sendiri (self awareness).
Pendekatan psikologi bertugas menghilangkan kesaksian nilai dengan
menetapkan keajegan pernyataan yang telah dibuat mengenai sesuatu yang
membentuk dunia ini. Dengan menggunakan metode yang akurat akan
melibatkan logika, pengumpulan data untuk memberikan penilaian
pembuktian yang obyektif. Hal tersebut menurut Abdul Djamali (1984)
dilakukan dengan melalui proses ilmiah yang dibentuk melalui:
1. Laboratory experimentation
Eksperimen tentang tingkah laku dilakukan dalam laboratorium untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Secara sistematik digunakan variasi
dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh kepada tingkah laku yang
ditelitinya. Selain itu dimungkinkan untuk menutupi situasi eksperimen
dan pengaruh luar seperti gangguan suara, kehadiran orang lain yang
tidak diperlukan.
2. Field experimentation
Eksperimen dilakukan dalam lingkungan yang wajar, lazim dan nyata, sehingga hasil penelitian tingkah laku itu berjalan wajar.
3. Controlled naturalistic observation
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan:
a. Mengadakan observasi terhadap tingkah laku dalam bermacam-macam
situasi yang dipilih dengan cermat, sehingga mewakili pelbagai
kemungkinan situasi yang kegiatan tingkah laku itu dapat terjadi.
b. Mengadakan observasi tanpa diketahui kehadiran observatornya yang dilakukan dengan visual seleksi.
c. Membuat kousiener dan mewawancarai objeknya.
d. Merekam pembicaraan dengan menyembunyikan alat rekamannya.
4. Metode klinis
Menggunakan metode klinis dilakukan dengan:
a. Mengumpulkan secara terperinci sejarah dari masalah.
b. Prosedur wawancara khusus
c. Tes intelegensi minat, kepribadian atau aspek lain dari tingkah laku.
d. Tekhnik analisa impian
Pendekatan klinis ini ditujukan untuk menentukan kualitas penyesuain
diri individu kepada lingkungan hidup pada umumnya atau lingkungan hidup
tertentu dan untuk menambah pengertian mengenai masalah penyesuaian
diri.
Kajian psikologi diutamakan pada tingkah laku individu, tetapi karena
manusia sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, maka
psikologi tidak dapat melepaskan kajiannya terhadap individu dalam
hubungannya dengan situasi massa dan situasi kelompok yang disebut
dengan psikologi sosial. Menurut Gerungan (2004:47-51) Keterlibatan
psikologi dalam pengkajian massa dan kelompok mengunakan metode antara
lain:
1. Metode eksperimen
Wilhelm Wundt pertama kali memakai dan mendasarkan metode ini dengan menetapkan beberapa syarat:
a. Menentukan dengan tepat waktu gejala yang akan diselidiki.
b. Mengukur berlangsungnya gejala yang akan diteliti dari awal hingga akhir dan harus mengamatinya dengan perhatian khusus.
c. Setiap observasi harus dapat diulangi dalam keadaan yang sama.
d. Mengubah-ubah dengan sengaja syarat-syarat keadaan eksperimen.
2. Metode survey
Metode dimana peneliti mengumpulkan keterangan seluas-luasnya mengenai
kelompok tertentu yang akan diteliti dengan menggunakan wawancara,
observasi dan angket sebagai alat untuk mengumpulkan keterangan.
3. Metode diagnostk psikis
Metode penelitian psikologi dengan meminta responden untuk memberikan
keterangan yang sejujur-jujurnya dengan memperhalus sebuah daftar
pertanyaan.
4. Metode sosiometri
Metode penelitian terhadap satu kelompok untuk meminta pernyataannya mengenai sikap anggota kelompok lain terhadap kelompoknya.
5. Metode sosiogram
Hasil penelitian sosiometri untuk mendapatkan hubungan antar kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain, dan bertujuan untuk memilih siapa
yang dapat memimpin beberapa kelompok tersebut.
Psikologi sebagai alat bantu dalam ilmu hukum yang dikenal dengan
psikologi khusus yaitu suatu cara untuk mendapatkan kebenaran baik
secara eksperimen maupun rasional yang memfokuskan pada perilaku manusia
yang berkaitan dengan hukum.
Dalam psikolgi hukum, menurut Charles Pierce (dalam Kerlinger, 1973)
sebagaimana dikemukakan oleh Curt Bartol (1984:1) mengambil suatu metode
penelitian untuk mengembangkan keyakinan dan pengetahuan antara lain:
1. The Method Of Tenacity
Suatu metode dimana orang berpegang teguh pada keyakinannya terhadap
orang lain karena ia selalu meyakini bahwa mereka itu sifatnya true and
correct. Keyakinan ini dipegang bahkan ketika diperhadapkan pada
bukti-bukti yang bertentangan karena dia berpendapat bahwa saya tahu,
bahwa saya benar tanpa peduli apa yang dikatakan orang lain atau yang
ditunjukan oleh bukti-bukti untuk menentukan keyakinannya.
2. The Method of Authority
Suatu dianggap benar karena individu dan pranata-pranata yang mempunyai
otoritas mengatakan kebenaran seperti itu. Misalnya apa yang diputus
pengadilan melalui hakim, pendapat seorang pakar yang berpengaruh dan
pendapatnya selalu disitir atau dikutip sebagai bukti otoritatif.
3. The A Priori Method
Sumber pengetahuan dengan menggunakan pemikiran logis dan penalaran deduksi dimana akan menjadi universal.
4. The Method Of Science
Mencari kebenaran berdasarkan pengamatan dan eksperimen secara
sistematik berdasarkan pengujian empiris yang dapat diuji sehingga dapat
disimpulkan bahwa psikologi menggali sumber pengetahuan berdasarkan
metode otoritatif kelogisan dan scientific dimana untuk memahami
perilaku manusia yang dimulai dari pengamatan langsung yang sederhana
sampai dengan eksperimental di laboratorium.
5. Metode Eksperimental
Metode dengan pengendalian dan pengaturan yang cermat ke dalam suatu
laboratorium, dimana kondisi-kondisi dapat dimanipulasi dengan
menggunakan peralatan tertentu, misalnya bagaimana ukuran dewan yuri,
bagaimana mengangkat keabsahan dengan menggunakan alat bukti,
pengabsahan dari hasil riset yang cermat dan prosedural.
6. Metode Realibitas
Metode untuk mencari bukti yang dapat dipakai oleh para psikolog, misalnya mengkaji efek kecemasan.
2. Kontribusi Psikolog Terhadap Bidang Hukum
Suatu sistem pembuktian dalam praktik peradilan baik itu hukum acara
pidana maupun hukum acara perdata, menggunakan keterangan ahli sebagai
dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan keputusan. Psikolog, seringkali
digunakan oleh pengacara sebagai salah satu sumber pembuktian, dengan
argumentasi yang didasarkan pada keahlian yang teliti dan cermat. Peran
yang sering dimainkan menurut Constanzo (2006:21-27) oleh para psikolog
dalam bidang hukum antara lain.
a) Psikolog sebagai penasihat
Diantara kasus yang sering masuk di pengadilan seperti permohonan
dispensasi perkawinan, permohonan izin poligami dan gugatan/permohonan
perceraian, hakim hanya selalu memakai pertimbangan Undang-undang
(Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), tanpa pernah
meminta tanggapan psikolog untuk menentukan alasan yang patut seorang
memperoleh dispensasi perkawinan dan izin poligami. Padahal psikolog
dalam kondisi tertentu akan menjadi penasihat dalam perceraian (mediasi
perceraian), yang disebabkan oleh perzinahan dan kekerasan dalam rumah
tangga. Pecahnya rumah tangga untuk diajukan perceraian di pengadilan,
dapat meminta pendapat psikolog, apakah sebuah rumah tangga masih patut
dipertahankan?
Di negara Amerika pakar psikolog seringkali disewa oleh pengacara untuk
membantu pembuktiannya berdasarkan pengetahuan psikologis dalam bersaksi
di pengadilan. Sebagai contoh, seorang psikolog klinis pernah bersaksi
kompetensi orang tua untuk mendapat hak asuh anak (Child custody).
b) Psikolog sebagai evaluator
Tanpa disadari seorang hakim yang memutus dengan ketukan palu dalam
putusan perceraian, anak-anak dari keluarga yang bercerai akan menjadi
anak jalanan, seorang hakim perlu pertimbangan psikologis untuk memutus
perceraian, karena putusan cerai adalah sama dengan menghancurkan
negara kecil. Olehnya itu psikolog dalam pengadilan perlu mengevaluasi
kompetensi orang tua dalam hal hak asuh tunggal, mengenai siapa yang
layak untuk mengasuh anak tersebut.
Dalam penjatuhan pidana, apakah dengan hukuman penjara, seorang
kriminal, tidak akan jahat lagi setelah keluar dari tahanan? Apakah
dengan menangkap preman juga akan mengurangi angka kejahatan? Apakah
pengaruh media (televisi, internet, dan handphone) menyebabkan
terjadinya kekerasan seksual? Apakah hubungan seksual di luar nikah
tidak melanggar hukum? Apakah perlu ada revolusi hukum (meminjam istilah
Lawrence M. Friedman) ketika pelacuran dilokalisir?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi bahan evaluasi psikolog
dalam pembentukan peraturan dan penegakan hukum.
c) Psikolog sebagai pembaharu
Berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia menjadi korban
pelacuran anak dan pornografi. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat
dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak, mereka
berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kasus tersebut akan menjadi koreksi tersendiri bagi para peneliti anak,
yang tentunya juga menjadi bahan penelitian psikolog, apakah perlu
diadakan perubahan/pembaharuan terhadap Undang-undang perlindungan
anak?, ataukah para penegak hukum yang kurang jeli memperhatikan
kekerasan yang tejadi dalam dunia anak-anak?.
Selain itu psikolog juga dapat megadvokasikan perlunya Undang-undang
disahkan berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya melaui penelitian,
sebagai contoh pengesahan Undang-undang pornografi memang perlu, karena
media banyak menayangkan tayangan sensual yang akan berpengaruh
terhadap pembentukan pikiran dan krakter anak.
sumber : http://www.damang.web.id/2011/01/muatan-dasar-psikologi-hukum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar