graphology & ilmu hukum
materi blog ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang grafologi dan menambah wahana pengetahuan berkenaan dengan ilmu hukum dintaranya pengantar ilmu hukum dan hukum indonesia, hukum pidana dan perdata, hukum tata negara serta psikologi hukum yang diantaranya dibuat secara sederhana agar mudah untuk dipahami.
Kamis, 23 April 2015
Minggu, 19 April 2015
PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
1. Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena ha-hal sebagai berikut :
- Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
- Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
- Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
- Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b. Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No. 144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c. Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
- Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische interpretatie), penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
- Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
- Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
- Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
- Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
- Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus dipilih ?
Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.
sejarah hukum pidana indonesia
Sejarah Hukum Pidana Indonesia
De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940
Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
(2) Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940
Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
- Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
- Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
- Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich (e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.
- Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
- Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
- Pasal VI :
(2) Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
- Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
- Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
- Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
Kamis, 16 April 2015
إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Beberapa hari yang lalu secara tak sengaja saya menemukan sebuah
percakapan menarik dari akun Twitter salah seorang tokoh di negeri ini.
Percakapan itu lumayan panjang ternyata, mengenai cara penulisan yang
benar untuk kata إِنْ شَاءَ اللَّهُ .
Bermula dari pic seorang Syaikh dalam bahasa Inggris yang menyatakan
bahwa penulisan yang benar adalah "In Shaa Allah", bukan "Insya Allah
atau "Insha Allah" karena "Insha Allah" berarti "Create Allah".
APAKAH ITU BENAR?
Untuk menjawabnya mari baca penjelasan berikut:
Beliau merujuk kepada penulisan dalam bahasa Arab إِنْ شَاءَ اللَّهُ
yang WAJIB ditulis terpisah antara huruf nun & syin-nya.
Arti harfiahnya sebagai berikut:
إِنْ (in/jika)
شَاءَ (syaa-a/menghendaki)
الله (Allahu/Allah)
Jika Allah menghendaki.
Sedangkan kata إِنْشَاء (dengan nun & syin menyambung) berarti "membuat".
Lalu apakah yang menulis dengan "Insha Allah" atau "Insya Allah" lantas
berdosa? Saya yakini tidak karena ia sama sekali TIDAK BERNIAT
mengatakan "create Allah". Penulisan tersebut juga sudah sangat umum
dalam masyarakat kita & tidak ada seorangpun yang memahami maknanya
sebagai "create Allah" kan? ;)
Satu hal yang sangat perlu kita perhatikan di sini: Bahasa pengantar
Syaikh tersebut adalah bahasa Inggris. Ini terkait dengan transliterasi
bahasa Arab ke bahasa-bahasa lain yang memiliki beberapa perbedaan. Dua
huruf "sh" dalam literasi bahasa Indonesia digunakan untuk huruf shad
(ص), bukan syin (ش). Sementara dalam transliterasi Arab-Inggris berlaku,
huruf "sh" adalah untuk huruf syin (ش), sedangkan huruf shad (ص)
menggunakan "s" dengan titik di bawahnya.
KESIMPULAN
Jadi kesimpulannya:
1. Pic/info yang beredar tersebut adalah benar, dan merupakan ijtihad Syekh tersebut yang patut kita hargai.
2. Penulisan "insyaAllah" dalam literasi selain Arab sah-sah saja
ditulis dalam beberapa susunan, selama penulisan tersebut sudah umum
& sang penulis meniatkan makna "Jika Allah menghendaki", bukan makna
lain :).
3. WAJIB memisahkan huruf nun & syin jika dituliskan dalam huruf Arab: إِنْ شَاءَ اللَّهُ
4. Hal-hal semacam ini sebaiknya tidak perlu dijadikan perdebatan
apalagi permusuhan. Mengutip perkataan seorang ulama: Jauhi perdebatan
yang tidak menghasilkan amal nyata.
Jadi daripada sia-sia, sangat baik jika kita menjadikan kata إِنْ شَاءَ
اللَّهُ sebagai bentuk tawakkal kita terhadap apa yang sudah kita
rencanakan (Al-Kahfi: 23-24). Bukan sebagai perdebatan, apalagi sebagai
bentuk "ingkar janji" terselubung. Na'udzubillah :)
Lagi pula, ini perihal mengenai bahasa, bukan keyakinan. 'Toh' Islam adalah agama yang mudah, tidak mempersulit kan? :D
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sekian. Semoga bermanfaat.
Rabu, 15 April 2015
10 cara meningkatkan kecerdasan emosional
10 Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anda, Psikologi Zone – Semua orang selalu berbicara tentang Emotional Intelligence
(EI), dalam bahasa Indonesia biasa disebut intelegensi emosional atau
kecerdasan emosional, tapi apa sebenarnya itu? Salah satu aspek penting
dari kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami, mengendalikan
dan mengevaluasi emosi – dalam diri sendiri dan orang lain – dan
menggunakannya sebagai informasi yang tepat.
Sebagai contoh, kecerdasan emosional dalam diri sendiri dapat membantu Anda mengatur dan mengelola emosi Anda, sementara mengakui emosi orang lain dapat menciptakan empati dan keberhasilan dalam hubungan Anda, baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional.
Pada tahun 1990, psikolog Yale John D. Mayer dan Peter Salovey memunculkan istilah kecerdasan emosional, yang beberapa peneliti mengklaim bahwa ini adalah karakteristik bawaan, sementara yang lain menunjukkan bahwa Anda dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
Mungkin tidak semua dari anda memiliki psikoterapis untuk meningkatkan kecerdasan emosional anda, namun kini Anda bisa menjadi terapis sendiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Semua itu dimulai dengan belajar bagaimana untuk mendengarkan perasaan-perasaan Anda. Meskipun tidak mudah, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi Anda sendiri, namun ini adalah langkah pertama dan paling penting.
Norman Rosenthal, MD, seorang psychiatrist dan peneliti seasonal affective disorder menjelaskan dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, dikutip dari psychology today (5/1/12), berikut adalah 10 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional Anda:
Sebagai contoh, kecerdasan emosional dalam diri sendiri dapat membantu Anda mengatur dan mengelola emosi Anda, sementara mengakui emosi orang lain dapat menciptakan empati dan keberhasilan dalam hubungan Anda, baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional.
Pada tahun 1990, psikolog Yale John D. Mayer dan Peter Salovey memunculkan istilah kecerdasan emosional, yang beberapa peneliti mengklaim bahwa ini adalah karakteristik bawaan, sementara yang lain menunjukkan bahwa Anda dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
Mungkin tidak semua dari anda memiliki psikoterapis untuk meningkatkan kecerdasan emosional anda, namun kini Anda bisa menjadi terapis sendiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh Freud, seorang tokoh psikoanalisis. Semua itu dimulai dengan belajar bagaimana untuk mendengarkan perasaan-perasaan Anda. Meskipun tidak mudah, mengembangkan kemampuan untuk mengelola emosi Anda sendiri, namun ini adalah langkah pertama dan paling penting.
Norman Rosenthal, MD, seorang psychiatrist dan peneliti seasonal affective disorder menjelaskan dalam sebuah bukunya yang berjudul “The Emotional Revolution”, dikutip dari psychology today (5/1/12), berikut adalah 10 cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional Anda:
- Coba rasakan dan pahami perasaan anda. Jika perasaan tidak nyaman, kita mungkin ingin menghindari karena mengganggu. Duduklah, setidaknya dua kali sehari dan bertanya, “Bagaimana perasaan saya?” mungkin memerlukan waktu sedikit untuk merasakannya. Tempatkan diri Anda di ruang yang nyaman dan terhindar dari gangguan luar.
- Jangan menilai atau mengubah perasaan Anda terlalu cepat. Cobalah untuk tidak mengabaikan perasaan Anda sebelum Anda memiliki kesempatan untuk memikirkannya. Emosi yang sehat sering naik dan turun dalam sebuah gelombang, meningkat hingga memuncak, dan menurun secara alami. Tujuannya adalah jangan memotong gelombang perasaan Anda sebelum sampai puncak.
- Lihat bila Anda menemukan hubungan antara perasaan Anda saat ini dengan perasaan yang sama di masa lalu. Ketika perasaan yang sulit muncul, tanyakan pada diri sendiri, “Kapan aku merasakan perasaan ini sebelumnya?” Melakukan cari ini dapat membantu Anda untuk menyadari bila emosi saat ini adalah cerminan dari situasi saat ini, atau kejadian di masa lalu Anda.
- Hubungkan perasaan Anda dengan pikiran Anda. Ketika Anda merasa ada sesuatu yang menyerang dengan luar biasa, coba untuk selalu bertanya, “Apa yang saya pikirkan tentang itu?” Sering kali, salah satu dari perasaan kita akan bertentangan dengan pikiran. Itu normal. Mendengarkan perasaan Anda adalah seperti mendengarkan semua saksi dalam kasus persidangan. Hanya dengan mengakui semua bukti, Anda akan dapat mencapai keputusan terbaik.
- Dengarkan tubuh Anda. Pusing di kepala saat bekerja mungkin merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Anda adalah sumber stres. Sebuah detak jantung yang cepat ketika Anda akan menemui seorang gadis dan mengajaknya berkencan, mungkin merupakan petunjuk bahwa ini akan menjadi “sebuah hal yang nyata.” Dengarkan tubuh Anda dengan sensasi dan perasaan, bahwa sinyal mereka memungkinkan Anda untuk mendapatkan kekuatan nalar.
- Jika Anda tidak tahu bagaimana perasaan Anda, mintalah bantuan orang lain. Banyak orang jarang menyadari bahwa orang lain dapat menilai bagaimana perasaan kita. Mintalah seseorang yang kenal dengan Anda (dan yang Anda percaya) bagaimana mereka melihat perasaan Anda. Anda akan menemukan jawaban yang mengejutkan, baik dan mencerahkan.
- Masuk ke alam bawah sadar Anda. Bagaimana Anda lebih menyadari perasaan bawah sadar Anda? Coba asosiasi bebas. Dalam keadaan santai, biarkan pikiran Anda berkeliaran dengan bebas. Anda juga bisa melakukan analisis mimpi. Jauhkan notebook dan pena di sisi tempat tidur Anda dan mulai menuliskan impian Anda segera setelah Anda bangun. Berikan perhatian khusus pada mimpi yang terjadi berulang-ulang atau mimpi yang melibatkan kuatnya beban emosi.
- Tanyakan pada diri Anda: Apa yang saya rasakan saat ini. Mulailah dengan menilai besarnya kesejahteraan yang anda rasakan pada skala 0 dan 100 dan menuliskannya dalam buku harian. Jika perasaan Anda terlihat ekstrim pada suatu hari, luangkan waktu satu atau dua menit untuk memikirkan hubungan antara pikiran dengan perasaan Anda.
- Tulislah pikiran dan perasaan Anda ketika sedang menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan menuliskan pikiran dan perasaan dapat sangat membantu mengenal emosi Anda. Sebuah latihan sederhana seperti ini dapat dilakukan beberapa jam per minggu.
- Tahu kapan waktu untuk kembali melihat keluar. Ada saatnya untuk berhenti melihat ke dalam diri Anda dan mengalihkan fokus Anda ke luar. Kecerdasan emosional tidak hanya melibatkan kemampuan untuk melihat ke dalam, tetapi juga untuk hadir di dunia sekitar Anda.
Kamis, 09 April 2015
lingkup hukum tata negara
HUKUM TATA NEGARA
Dalam kepustakaan Hukum Belanda, perkataan Staatsrecht (Hukum Tata Negara) mempunyai dua arti;
1) Staatsrechtswetenschap (Ilmu Hukum Tata Negara)
2) Positief staatsrecht (Hukum Tata Negara Positif)
Tata Negara Umum atau Pengantar Hukum Tata Negara membahas teori-teori ketatanegaraan secara umum sedangkan Hukum Tata Negara Positif hanya membahas konstitusi yang berlaku di Indonesia saja.
Hukum Tertulis yang merupakan Sumber dari Hukum Tata Negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Prof. Mr. WG. Vegting dalam bukunya “het Algemeen Nederland Administratiefrecht I, 1954”, Staats-en administratiefrecht hebben een gemeenschappelijk gebeid van te bestuderen regelen, die achter bij de ene studie anders benaderd worden dan bij de andere”. (Hukum Tata Negara dan Hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang sama, tetapi cara pendekatan yang digunakan berbeda antara bidang pelajaran yang satu dan pendekatan penggunaan pelajaran lainnya). Pendapat ini menggunakan perbedaan “perkataan” bahwa hukum tata negara bertujuan mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat perlengkapan negara, sedangkan hukum administrasi negera bertujuan mengetahui tentang cara tingkah-laku negara dan alat-alat perlengkapan negara. Obyek hukum tata negara itu mengenai masalah fundamental organisasi negara, sedangkan hukum administrasi negara obyeknya mengenai pelaksanaan teknik dalam mengelola negara.
Dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia sebagai organisasi negara sejak 1945 dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam sejarahnya mengalami masa penggantian sebagai akibat dari rongrongan bekas penjajah Belanda yang ingin mencoba untuk menguasai kembali.
1. Sejarah singkat pembentukan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tanggal 29 April 1945 pemerintah jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) ang diketuai oleh Dr. Radjiman Widyadiningrat dengan tugas menentukan dasar-dasar filsafat dalam pembentukan pedoman bernegara.
Dalam sidang-sidangnya melaksanakan tugas itu menghasilkan:
1. Dasar falsafah Pancasila sebagai pedoman utama dalam bernegara (1 Juni 1945)
2. Pembentukan Undang-Undang Dasar (14 Juli 1945)
3. Rancangan Unsang-Undang Dasar.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan Kemerdekaan dibubarkan dan diganti, Dokuritsu Zyunbi linkai (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia) terdiri dari 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Wakil ketua Drs. Moh. Hatta, sehari setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus panitia tersebut ditambah menjadi 27 orang menetapkan:
1.Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2.Undang-Undang Dasar 1945.
2. Masa Republik Indonesia Serikat 1950
Pada tanggal 1 Januari 1950 negara Republik Indonesia Serikat menyelenggarakan organisasi negaranya berdasarkan Undang-Undangnya yang lazim disebut Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( Konstitusi RIS). Secara sistematik Konstitusi itu terdiri dari:
1.Mukaddimah Isi pasal sebanyak 197 Lampiran. Alat-alat perlengkapan negara RIS yang berkedudukan di Jakarta sebagai Ibukota, terdiri dari: Presiden Sebagai kepala negara, Presiden dipilih oleh wakil-wakil pemegang kuasa dari pemerintah daerah-daerah bagian. Syarat-syarat untuk, menjadi Presiden, ialah: Telah berusia 30 tahun Dilarang bagi orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Untuk pertama kali Presiden Republik Indonesia Serikat dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 16 Desember 1949, yaitu Ir. Soekarno yang menagkat sumpahnya tanggal 17 Desember 1949.
2.Menteri-Menteri
Republik Indonesia menganut sistem kabinet yang bertanggung jawab (Government Cabinet), yaitu bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Tugasnya bersama-sama Presiden ,alaksanakan terselenggaranya pemerintah RIS. Dalam memperhatikan masalah untuk kepentingan umum sebagai kepentingan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Sidang Dewan Menteri.
1.Senat
Senat adalah perwakilan daerah-daerah bagian. Perwakilan ini diberikan kepada setiap daerah bagian dari dua orang anggota dan bentuk suara satu. Syarat-syarat untuk menjadi anggota senat sama dengan syarat untuk menjadi Presiden. Senat bersama-sama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, berwenang:
1)Mengubah Konstitusi,
2)Menetapkan Undang-undang Federal baik untuk satu atau dua maupun semua daerah bagian,
3)Menetapkan Undang-Undang Federal tentang Anggaran Belanja Negara.
4)Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah perwakilan seluruh rakyat anggotanya terdiri dari 150 orang dengan pembagian 50 anggota dari negara bagian Republik Indonesia dan 100 anggota dari negara-negara bagian lainnya dengan tidak mengecualikan keanggotaan dari warga negara dolongan Cina, Eropa, dan Arab.
5)Mahkamah Agung
Kedudukannya sebagai lembaga yudikatif yang berdiri sendiri tanpa campur tangan alat-alat perlengkapan negara lainnya kecuali ditentukan dalam undang-undang, masa jabatan keanggotaannya terbatas (dapat pensiun), dapat diberhentikan oleh Presiden atas perintahnya sendiri.
6)Konstituante
Konstituante sebagai lembaga yang bertugas khusus membuat Undang-Undang Dasat saat itu sangat siperlukan, karena Undang-Undang Dasar sebagai pedoman negara republik Indonesia masih bersifat sementara dan perlu yang bersifat tetap.
Indonesia Sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik, Kepala negaranya adalah Presiden. Dan sebagai negara hukum, kedaulatannya adalah ditangan rakyat yang dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.
2.Sumber Hukum Tata Negara
Sumber Hukum Tata Negara mencakup Hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal.
Sumber Hukum materiil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Sumber hukum dalam arti meteril ini diantaranya:
1) Dasar dan pandangan hidup bernegara
2) Kekuatan0kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara.
Sumber Hukum dalam arti Formal:
1)Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
2)Hukum Adat ketatanegaraan
3)Hukum kebiasaan ketatanegaraan, atau konvensi ketatanegaraan
4)Yurisprudensi ketatanegaraan
5)Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
6)Doktrin ketatanegaraan
3.Asas-asas Hukum Tata Negara.
1)Asas Pancasila
Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum meteriil. Dalam penjelasan UUD 1945, dapat diketahui bahwa Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD negara Republik Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pandangan hidup bangsa Indonesia Pancasila.
2)Asas Negara Hukum
Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung “rechsstaat”.
Ciri-ciri dari rechtsstaat ialah:
1.Adanya Undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri diatas menunjukan ide sentral dari rechtsstaat ialah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.
Menurut A.V. Dicey mengetengahkan dalam tiga arti dari the rule of law sebagai berikut:
1)Supermasi Absolut atau predominasi dari regular Law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan menindak kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2)Persamaan dihadapan hukum atau pendudukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara.
3)Konstitusi adalah hasil dari ordinary law of the land, hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
3. Asas Keadulatan Rakyat dan Demokrasi.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep rule of law berkembang secara evolusioner. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sisitem hukum continental yang disebut civil Law, sedangkan konsep rule of law pada system hukum yang disebut common law. Karakteristik common law adalah judicial. Sedangkan civil law adalah administratif.
Adapun ciri-ciri rechtstaat :
1.Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan-ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
2.Adanya pembagian kekuasaan Negara
3.Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat
Ide sentral rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.
A.V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut :
a. supermasi absolute atau pedominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
b. Persamaan dihadapan hukum atau penundukkan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bhwa tidak ada orang yang berada diatas hukum tidak ada peradilan administrasi Negara.
c. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupak konsikuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dant ditegaskan oleh peradilan.
Dalam paham Negara hukum yang demikian, harusnya dibuat jaminan bahwa hukum tiu sendiri di bangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh sebab itu, prinsip Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip demokrasi yang diatur dalam undang-undang dasar.
4. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (demokratische rechtsstaat). Kalangan berpandangan bahwa Undang-undang 1945 adalah cita kenegaraan kekeluargaan, oleh Soepomo disebut Integralistik. Sebagian yang lain juga berpendapat bahwa dalam UUD 1945 adalah Demokrasi karena adanya jaminan HAM didalam UUD 1945. Meskipun banyak yang mengusulkan agar permasalahan HAM dimuat dalam UUD, Soekarno dan Soepomo berkeras untuk konsisten dengan sistematika pemikiran integralistik yang menolak-nolak HAM. Perbedaan pandangan mengenai HAM tersebut, terutama seperti yang terlihat dalam perdebatan antara Hatta-Yamin di satu pihak dengan Soekarno-Soepomo di pihak yang lain, pada pokoknya mencerminkan perbedaan pemikiran mengenai konsep Negara kekeluargaan. Bab XA dengan judul Hak Asasi Manusia yang terdiri dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J.
HAM yang termasuk dalam UUD 1945 dapat dibagi kedalam beberapa Aspek, yaiutu :
1. HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2. HAM berkaitan dengan keluarga
3. HAM berkaitan dengan pekerjaan
4. HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan menyakini kepercayaan
5. HAM berkaitan dengan kebebasan bersikap, berpendapat, dan kepercayaan
6. HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7. HAM eberkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat.
8. HAM berkaitan dengan kesejahteraan Sosial
9. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10. HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.
Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke UUD 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang dianggap semakin penting sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat Negara hukum.
5. Asas Negara Kesatuan.
Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametric dari Negara federal. Formulasi Negara kesatuan dedeklarasikan saat kemerdekaan oleh pendiri Negara dengan mengeklaim seluruh wilayahnya sebagai dari satu Negara.
6. Asas Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar :
Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin sentral dan menentukan. Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebigh liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada public betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan Negara. Keempat, pada tataran lebih tinggi Negara kesadaran untuk memperkuat proses check and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini dipegang-yakin “asas kekeluargaan didalam penyelenggaran Negara. Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagai elite berpengaruh dan public politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstirusi RI.
Langganan:
Postingan (Atom)